Pelecehan
Kelompok-kelompok Ahlu Bid'ah terhadap Manhaj, Akidah dan Para Ulama Azhar
Nomor Urut : 261 Tanggal Jawaban : 19/11/2005
Memperhatikan permohonan fatwa No. 2908 tahun 2005 yang
berisi: Saat ini, banyak pemuda yang bergabung dengan kelompok yang mengaku
sebagai satu-satunya kelompok yang sesuai dengan tuntunan para ulama salaf
saleh dan mengikuti jalan yang benar. Mereka juga menuduh orang-orang yang
berseberangan dengan mereka sebagai para antek asing, orang kafir dan zindik.
Hingga banyak ulama yang tidak selamat dari tuduhan mereka. Mereka menyerang
akidah para ulama Azhar dan menuduh para ulama Asy'ari sebagai pelaku bid'ah.
Selain itu, mereka juga mewajibkan orang-orang untuk memelihara jenggot dan
meninggikan ujung celana dari mata kaki, serta menganggap doa qunut dalam salat
Subuh sebagai perbuatan bid'ah dan lain sebagainya. Apa pendapat Yang Mulia
Mufti mengenai kelompok ini dan pendapatnya tersebut?
Jawaban
: Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad
Para pemuda muslim, terutama para
penuntut ilmu, hendaknya berusaha untuk menyatukan kaum muslimin, bukan
sebaliknya, menyebar perpecahan dan pertikaian di antara mereka. Allah SWT
telah memerintahkan kita untuk berpegang teguh pada tali Allah yang kuat dan
tidak berselisih dalam urusan agama. Allah berfirman,
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama)
Allah, dan janganlah kamu bercerai berai." (Âli 'Imrân [3]: 103).
Dan Allah berfirman,
وَأَطِيعُوا
اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ
وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
"Dan ta'atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah
kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang
kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar." (Al-Anfâl [8]: 46).
Allah juga memerintahkan kita untuk
berbicara kepada orang-orang secara baik-baik. Allah berfirman,
وَإِذْ
أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ
تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ
"Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani
Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah
kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, serta
ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah
zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil
daripada kamu, dan kamu selalu berpaling." (Al-Baqarah [2]: 83).
Rasulullah saw. juga memerintahkan
kaum muslimin untuk melakukan semua usaha yang dapat membawa kepada persatuan
umat, hingga beliau menyatakan bahwa senyum seorang muslim kepada saudaranya
adalah sedekah.
Para pemuda juga wajib menjauhkan diri
dari manhaj-manhaj pengafiran, pembid'ahan, pemfasikan dan penyesatan yang
banyak tersebar di kalangan para penuntut ilmu di zaman ini. Mereka harus
bersikap bijak dan sopan kepada para ulama besar dan orang-orang saleh.
Kelompok manapun yang menggunakan nama "Salafus saleh" sebagai alat
untuk memecah belah kaum muslimin maka mereka telah mencampuradukkan antara yang
hak dan yang batil. Allah berfiman,
وَلَا
تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
"Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang
bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu
mengetahui." (Al-Baqarah [2]: 42).
Sebagaimana diketahui, akidah al-Azhar
adalah akidah Asy'ariah yang merupakan akidah kelompok Ahlussunnah wal Jamaah.
Para ulama Asy'ariah –semoga Allah meridai mereka dan membuat mereka
diridai—merupakan jumhur (mayoritas) ulama dari umat ini. Merekalah yang
menjawab semua syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh para kaum atheis dan
lainnya. Mereka berpengang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw.
sepanjang sejarah. Barang siapa yang mengafirkan atau menfasikkan mereka, maka
orang itu patut dipertanyakan keberagamaannya.
Ibnu Asakir dalam kitabnya Tabyîn Kadzb
al-Muftarî fîmâ Nusiba Ilâ al-Imâm Abi al-Hasan al-Asy'arî berkata,
"Ketahuilah –semoga Allah memberi taufik kepadaku dan kepadamu untuk
mendapatkan keridaan-Nya serta menjadikan kita termasuk orang-orang yang
bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benarnya— bahwa daging para ulama adalah
beracun. Sunnatullah dalam membongkar keburukan orang-orang yang melecehkan
para ulama telah diketahui bersama. Dan barang siapa yang dengan mulutnya
melecehkan mereka, maka Allah akan mematikan matian hatinya sebelum ia
meninggal dunia."
Institusi Al-Azhar asy-Syarif merupakan
menara ilmu dan agama sepanjang sejarah. Benteng kokoh ini telah membentuk
sebuah lembaga ilmiah terbesar yang pernah ada setelah masa-masa awal Islam
yang istimewa. Dengan lembaga ini Allah telah menjaga agama-Nya dari setiap
penentang dan perongrong. Oleh karena itu, orang yang mencoba mencari-cari
kesalahan dalam akidah institusi al-Azhar maka ia berada dalam bahaya yang
besar dan dikhawatirkan termasuk orang-orang sekte Khawarij yang disinggung
oleh Allah dalam firman-Nya,
لَئِنْ
لَمْ يَنْتَهِ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ
وَالْمُرْجِفُونَ فِي الْمَدِينَةِ لَنُغْرِيَنَّكَ بِهِمْ ثُمَّ لَا
يُجَاوِرُونَكَ فِيهَا إِلَّا قَلِيلًا
"Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik,
orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan
kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu
(untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah)
melainkan dalam waktu yang sebentar."
(Al-Ahzâb [33]: 60).
Berkaitan dengan masalah jenggot, maka
memeliharanya dan tidak mencukurnya adalah diriwayatkan dari Nabi saw.. Beliau
juga merapikan dan memotong ujung-ujungnya sehingga terlihat rapi sesuai dengan
bentuk wajah dan performen tubuh. Beliau juga memperhatikan kebersihan
jenggotnya dengan mencucinya, menyela-nyelanya dan menyisirnya. Para sahabat
beliau yang hidup setelahnya pun mengikuti apa yang dilakukan beliau tersebut.
Terdapat banyak hadis yang menganjurkan
untuk memelihara jenggot dan merawatnya dengan baik, serupa dengan hadis-hadis
yang menganjurkan untuk bersiwak, memotong kuku, kumis dan lain sebagainya.
Sebagian ulama mengartikan perintah dalam hadis-hadis ini sebagai suatu
kewajiban sehingga berpendapat bahwa mencukur jenggot adalah perbuatan haram.
Namun, sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa perintah dalam hadis-hadis
itu bukan bersifat wajib tapi hanya merupakan anjuran, sehingga menurut mereka
memelihara jenggot merupakan perbuatan sunah yang pelakunya diberi pahala tapi
orang yang meninggalkannya tidak dikenakan hukuman.
Dalil para ulama yang mengatakan bahwa
mencukur jenggot merupakan perbuatan yang diharamkan adalah hadis-hadis yang
memerintahkan untuk memelihara jenggot agar berbeda dengan orang-orang Majusi
dan kaum musyrikin.
Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah
radhiyallahu 'anhâ dari Rasululllah saw., beliau bersabda,
عَشْرَةٌ
مِنَ الْفِطْرَةِ: قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ
وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ اْلأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ
اْلإِبْطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ
"Sepuluh hal termasuk perbuatan fitrah, yaitu memotong
kumis, memelihara jenggot, bersiwak, menghirup air untuk membersihkan hidung,
memotong kuku, mencuci ruas jari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan
dan membersihkan kemaluan dengan air setelah buang air."
Seorang perawi berkata, "Saya lupa yang kesepuluh.
Kalau tidak salah ia adalah berkumur."
Sedangkan kelompok lain –yaitu para ulama
Syafi'iyah— berpendapat bahwa perintah-perintah yang berkaitan dengan
kebiasaan, makan, minum, berpakaian, duduk, penampilan dan lain sebagainya,
diartikan sebagai anjuran, karena terdapat indikasi (qarînah) --yang merubah
perintah itu dari kewajiban menjadi anjuran— tentang keterkaitan
perintah-perintah itu dengan hal-hal yang merupakan kebiasaan tersebut. Para
ulama ini juga memberikan contoh dengan perintah untuk menghitamkan rambut dan
melakukan salat dengan memakai sandal dan sejenisnya. Hal ini sebagaimana
penjelasn Ibnu Hajar dalam Fath al-Bârî.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka
terdapat perbedaan ulama berkaitan dengan boleh tidaknya mencukur jenggot.
Dalam kaidah fikih dinyatakan bahwa keluar dari masalah yang diperdebatkan
adalah dianjurkan. Dan terdapat kaedah lain: barang siapa yang diuji dengan
terpaksa harus melakukan perbuatan yang diperselisihkan kebolehannya dan dia
tidak dapat menghindarinya, maka ia hendaknya mentaklid (mengikuti) ulama yang
membolehkan.
Adapun masalah meninggikan ujung celana,
maka pada dasarnya hukum memakai pakaian adalah boleh selama tidak ada niat
berlebih-lebihan atau bersikap sombong. Hal ini berdasarkan hadis Abdullah bin
'Amr radhiyallahu 'anhumâ dari Nabi saw., beliau bersabda,
كُلُوْا
وَاشْرَبُوْا وَتَصَدَّقُوْا وَالْبَسُوْا فِيْ غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلاَ مَخِيْلَةٍ
"Makanlah, minumlah, bersedekahlah dan berpakaianlah
kalian tanpa berlebihan dan sikap sombong." (HR. Ahmad, Nasa`i dan Ibnu Majah. Hadis ini dishahihkan
oleh Hakim).
Berdasarkan makna inilah hadis-hadis larangan
isbâl (memanjangkan celana melebihi mata kaki) ditafsirkan, seperti sabda
Rasulullah saw.,
مَا
أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ اْلإِزَارِ فَفِيْ النَّارِ
"Ujung pakaian yang berada di bawah kedua mata kaki
tempatnya adalah neraka."
(HR. Bukhari).
Nabi saw. juga bersabda,
ثَلاَثَةٌ
لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ
يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ - قالها ثلاثا-، ، قَالَ أَبُو ذَرٍّ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: خَابُوا وَخَسِرُوا، مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟
قَالَ: الْمُسْبِلُ، وَالْمَنَّانُ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ
الْكَاذِبِ
"Tiga orang yang pada hari Kiamat tidak akan diajak
bicara, tidak dipandang dan tidak disucikan oleh Allah serta mendapatkan siksa
yang pedih". Rasulullah saw. mengucapkan hal itu tiga kali. Lalu Abu Dzar
berkata, "Sengsara dan merugilah mereka, siapakah mereka itu wahai
Rasulullah?" Beliau menjawab, "Orang yang memanjangkan pakaiannya
hingga di bawah mata kaki, orang yang menyebarkan adu domba dan orang yang
melariskan dagangannya dengan sumpah palsu". (HR Muslim).
Hadis ini diartikan sebagai ancaman
terhadap orang yang melakukannya karena sombong sebagaimana dijelaskan dalam
hadis-hadis yang lain, seperti hadis Abdullah bin Umar r.a. yang diriwayatkan dalam
ash-Shahihain bahwa Nabi saw. bersabda,
لاَ
يَنْظُرُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ
"Pada hari Kiamat, Allah tidak memandang orang yang menyeret pakaiannya
(yang panjang) dengan sombong."
Oleh karena itu, lafal larangan
memanjangkan ujung pakaian yang bersifat mutlak dalam hadis-hadis tersebut,
harus dibatasi dengan sikap sombong sebagaimana dinyatakan oleh Imam Nawawi.
Imam Syafi'i telah menjelaskan secara tegas tentang perbedaan antara orang yang
melebihkan pakaiannya karena sombong dan yang tidak sombong.
Di dalam kitab ash-Shahîh, Imam Bukhari
membuat sebuah bab dengan judul: Bab Orang yang Menyeret Sarungnya tanpa Sikap
Sombong. Dalam bab itu beliau menyebutkan hadis Ibnu Umar r.a,
أن أبا بكر
الصديق رضي الله عنه قال: يا رسول الله إن أحد شقي إزاري يسترخي إلا أن أتعاهد ذلك
منه، فقال النبي صلى الله عليه وآله وسلم: «لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلاَءَ
Bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. berkata, "Wahai
Rasulullah, salah satu sisi kain sarung saya melorot kecuali jika saya selalu
memeganginya. Maka Rasulullah saw. bersabda; "Kamu bukan termasuk orang
yang melakukannya karena sombong."
Begitu pula hadis Abi Bakrah r.a., ia
berkata,
خَسَفَتِ
الشَّمْسُ وَنَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّم،
فَقَامَ يَجُرُّ ثَوْبَهُ مُسْتَعْجِلًا حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ، وَثَابَ
النَّاسُ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، فَجُـلِّيَ عَنْهَا، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا
وَقَـالَ: إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ، فَإِذَا
رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ حَتَّى يَكْشِفَهَا
"Terjadi gerhana matahari ketika kami sedang bersama Rasulullah saw.. Lalu
beliau berjalan dengan terburu-buru ke masjid sambil menyeret kain sarungnya.
Orang-orang pun segera bangkit. Beliau kemudian melakukan salat dua rakaat
hingga gerhana tersebut hilang. Lalu beliau menghadap kepada kami dan berkata,
Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kekuasaan Allah. Jika kalian
melihatnya maka lakukanlah shalat dan berdoalah kepada Allah hingga Allah
menyingkapnya kembali."
Kedua hadis ini secara tegas dan jelas bahwa
memanjangkan ujung pakaian hingga di bawah mata kaki (isbâl) yang diharamkan
adalah yang dilakukan dengan maksud sombong. Jika tidak maka tidak haram karena
keberadaan sebuah hukum mengikuti keberadaan illat hukum itu.
Syariat juga telah memberikan ruang bagi
tradisi dan kebiasaan sebuah masyarakat dalam menentukan bentuk pakaian dan
penampilan. Rasulullah saw. melarang seseorang memakai pakaian yang menarik
perhatian orang yang berbeda dengan pakaian masyarakat pada umumnya. Beliau
bersabda,
مَنْ
لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللهُ ثَوْبَ مَذِلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Barang siapa yang memakai pakaian yang menarik
perhatian orang-orang (karena berbeda dengan warna pakaian mereka) maka Allah
akan memakaikan pakaian kehinaan padanya pada hari Kiamat." (HR. Abu Dawud dan Ibu Majah dari hadis abdullah bin Umar
r.a. serta dihasankan oleh al-Hafizh al-Mundziri).
Para sahabat sendiri ketika memasuki kota
Persia mereka melakukan salat dengan memakai celana orang-orang Persia. Para
ulama juga menyebutkan jika terdapat kesepakatan masyarakat untuk memanjangkan
sebagian jenis pakaian yang biasa dipakai, sehingga setiap masyakarat memiliki
ciri khas tersendiri yang diketahui oleh mereka, maka hal itu tidak diharamkan,
tapi yang diharamkan adalah yang digunakan dengan niat menyombongkan diri.
Seorang muslim yang mencintai Sunnah
hendaknya mengetahui masalah ini, juga memahami zamannya dan dapat menerapkan
Sunnah-sunnah Nabi saw. secara baik dalam masyarakat. Sehingga, ia dapat
membuat mereka tertarik dan senang dengan Sunnah-sunnah tersebut dan tidak
menimbulkan fitnah yang membuat mereka menjauh mereka dari agama ini. Hendaknya
seorang muslim juga dapat membedakan antara Sunnah yang berasal dari tabiat
manusia, Sunnah yang berasal dari tata cara sesuai kebiasaan atau tradisi
masyarakat dan jenis Sunnah-sunnah yang lain. Ia juga harus memperhatikan skala
prioritas dalam penerapan Sunnah-sunnah tersebut, sehingga tidak mendahulukan
yang bersifat anjuran dari yang bersifat wajib, atau lebih memperhatikan
penampilan luar dengan mengabaikan sisi batin serta interaksi dengan baik di
masyarakat. Seorang muslim juga hendaknya dapat memilih sunnah yang dapat
dipahami masyarakat sehingga tidak menjadi bumerang yang mengakibatkan
terjadinya pelecehan dan penolakan terhadap Sunnah itu sendiri. Hal ini
sebagaimana dijelaskan oleh Ali karamallahu wajhah,
حَدِّثُوا
النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُونَ وَدَعُوا مَا يُنْكِرُونَ؛ أَتُحِبُّونَ أَنْ
يُكَذَّبَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
"Bicaralah kepada orang-orang sesuai dengan pemahaman
mereka dan tinggalkan hal-hal yang mereka benci. Apakah kalian ingin Allah dan
Rasul-Nya didustakan?" (HR.
Bukhari dan lainnya).
Abdullah bin Mas'ud r.a. juga pernah berkata,
مَا أَنْتَ
بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لاَ تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ إِلاَّ كَانَ
لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً
"Tidaklah kamu berbicara kepada satu kaum tentang
persoalan yang tidak mereka pahami kecuali persoalan itu dapat menjadi bencana
bagi sebagian mereka." (HR.
Muslim).
Adapun membaca doa qunut dalam shalat
Shubuh maka hal itu adalah sunnah Nabi. Ini merupakan pendapat sebagian besar
kalangan Salaf salih dari para sahabat, tabi'in dan ulama-ulama setelah mereka.
Dalam hadis Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu disebutkan bahwa,
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو
عَلَيْهِمْ ثُمَّ تَرَكَهُ، وَأَمَّا فِي الصُّبْحِ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ حَتَّى
فَارَقَ الدُّنْيَا
"Sesungguhnya Nabi saw. membaca qunut selama satu bulan
guna melaknat mereka (suku Ra'l, Dzakwan dll), lalu beliau meninggalkannya.
Sedangkan dalam shalat Shubuh, maka beliau terus membaca qunut sampai meninggal
dunia."
Ini adalah hadis shahih yang diriwayatkan oleh beberapa
orang hufâzh dan mereka pun menshahihkannya, sebagaimana dikatakan oleh Imam
Nawawi dan lainnya. Pendapat ini diambil oleh para ulama Syafi'iyah dan
Malikiyah dalam pendapat yang masyhur. Menurut mereka, membaca qunut dalam shalat
Shubuh secara mutlak dianjurkan. Mereka menafsirkan riwayat-riwayat mengenai
penghapusan hukum (nasakh) qunut atau larangan membacanya dengan mengatakan
bahwa yang ditinggalkan adalah mendoakan suatu kaum tertentu dengan keburukan
(melaknat mereka), bukan qunut secara mutlak.
Sebagian ulama yang lain berpendapat
bahwa membaca qunut pada shalat Shubuh hanya dianjurkan ketika terjadi
bencana-bencana yang menimpa kaum muslimin. Dengan kata lain, bila tidak
terjadi bencana yang menuntut dibacanya doa qunut, maka membacanya tidak
dianjurkan. Ini adalah pendapat ulama Mazhab Hanafi dan Hambali.
Dengan demikian, jika terjadi suatu
bencana yang menimpa kaum muslimin, maka tidak ada perpedaan pendapat mengenai
anjuran membaca qunut dalam shalat Shubuh. Dalm hal ini yang masih
diperdebatkan adalah membacanya dalam shalat-shalat wajib yang lain. Sebagian
ulama, seperti para ulama Mazhab Maliki, berpandangan bahwa membaca qunut
ketika terjadi bencana yang menimpa orang-orang muslim hanya terbatas pada shalat
Shubuh. Sedangkan sebagian yang lain, seperti ulama Mazhaab Hanafi, berpendapat
bahwa doa qunut dibaca dalam semua shalat jahr (shalat yang bacaannya dibaca
dengan keras). Adapun ulama Syafi'iyah, dalam pendapat yang shahih, berpendapat
bahwa qunut dibaca di seluruh shalat-shalat wajib. Mereka mencontohkan bencana
ini dengan wabah penyakit, paceklik (kekeringan), hujan yang merusak
perkampungan dan tanaman, takut terhadap musuh dan tertangkapnya seorang ulama.
Kesimpulannya adalah bahwa perbedaan para
ulama dalam masalah membaca qunut ketika shalat Shubuh hanya terbatas pada
kondisi ketika tidak terjadi bencana. Adapun jika terjadi bencana, maka para
ulama sepakat mengenai anjuran untuk membacanya dalam shalat Shubuh, sedangkan
dalam shalat-shalat wajib lainnya maka masih diperselisihkan.
Dengan demikian, kritikan terhadap
pembacaan doa qunut dalam shalat Shubuh dengan alasan bahwa perbuatan itu tidak
benar, adalah kritikan yang salah. Hal ini bila dilihat dari kondisi umat Islam
yang sedang ditimpa dengan berbagai bencana, musibah dan wabah penyakit serta
rongrongan para musuh dari semua penjuru. Semua ini menuntut kita untuk
memperbanyak doa dan munajat kepada Allah dengan harapan semoga Allah
menjauhkan tangan-tangan jahat musuh dari kita, mengembalikan wilayah kita yang
dirampas serta membuat bahagia Nabi kita Muhammad saw. dengan kemenangan
umatnya dan kembalinya kehormatan umat ini yang terampas. Hal ini jika kita
melihat bahwa bencana tersebut terus berkelanjutan dan tidak pernah berkesudahan.
Namun, orang yang berpendapat bahwa suatu
bencana hanya terbatas pada waktu tertentu dan tidak lebih dari satu bulan atau
empat puluh hari, maka orang tersebut tidak boleh menyalahkan orang yang
membaca qunut ketika shalat Shubuh. Karena orang yang membaca qunut ini
mengikuti pendapat salah satu imam mazhab yang diperintahkan untuk diikuti
sebagaimana disinggung dalam firman Allah SWT,
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ
الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali
orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (An-Nahl [16]: 43).
Barang siapa yang mentaklid imam lain
yang pendapatnya menurutnya benar dalam masalah ini, maka dia tidak boleh
mengingkari orang yang membaca qunut. Karena, dalam kaidah fikih disebutkan: Lâ
yunkaru al-mukhtalaf fîh (Tidak boleh mengingkari persoalan yang masih
diperdebatkan). Dan kaidah lain menyatakan: Lâ yunqaqhu al-ijtihâd bil ijtihâd
(Sebuah ijtihad tidak dibatalkan dengan ijtihad lain).
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
Nomor Urut : 261 Tanggal Jawaban : 19/11/2005
"Pada hari Kiamat, Allah tidak memandang orang yang menyeret pakaiannya (yang panjang) dengan sombong."
"Terjadi gerhana matahari ketika kami sedang bersama Rasulullah saw.. Lalu beliau berjalan dengan terburu-buru ke masjid sambil menyeret kain sarungnya. Orang-orang pun segera bangkit. Beliau kemudian melakukan salat dua rakaat hingga gerhana tersebut hilang. Lalu beliau menghadap kepada kami dan berkata, Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kekuasaan Allah. Jika kalian melihatnya maka lakukanlah shalat dan berdoalah kepada Allah hingga Allah menyingkapnya kembali."