LARANGAN MENCACI MAKI TUHAN SESEMBAHAN ORANG-ORANG NON-MUSLIM
10 Mei 2017
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا
اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ
ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
108
“Dan janganlah kalian memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan
mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan
kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”.
QS. 06 : 108
Allah Swt. berfirman, melarang
Rasul-Nya dan orang-orang mukmin memaki sembahan-sembahan orang-orang musyrik,
sekalipun dalam makian itu terkandung maslahat, hanya saja akan mengakibatkan mafsadat
(kerusakan) yang lebih besar daripada itu. Kerusakan yang dimaksud ialah
balasan makian yang dilakukan oleh orang-orang musyrik terhadap Tuhan kaum
mukmin, yaitu: Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia. (Al-Baqarah: 255).
Seperti yang diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan asbabun nuzul ayat ini. Disebutkan bahwa orang-orang musyrik
berkata, "Hai Muhammad, berhentilah kamu dari mencaci tuhan-tuhan kami;
atau kalau tidak berhenti, kami akan balas mencaci maki Tuhanmu." Maka
Allah melarang kaum mukmin mencaci berhala-berhala sembahan kaum musyrik. Abdur
Razzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah, bahwa dahulu orang-orang
muslim sering mencaci maki berhala-berhala orang-orang kafir, maka orang-orang
kafir balas mencaci maki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Oleh
sebab itu, turunlah ayat ini. (QS. 06 : 108).
Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim telah
meriwayatkan dari As-Saddi yang telah mengatakan sehubungan dengan tafsir (asbabun
nuzul) ayat ini,
لَمَّا حَضَرَ أَبَا طَالِبٍ الْمَوْتُ قَالَتْ قُرَيْشٌ:
انْطَلِقُوا فَلْنَدْخُلْ عَلَى هَذَا الرَّجُلِ فَلْنَأْمُرْهُ أَنْ يَنْهَى
عَنَّا ابْنَ أَخِيهِ فَإِنَّا نَسْتَحْيِي أَنْ نَقْتُلَهُ بَعْدَ مَوْتِهِ
فَتَقُولُ الْعَرَبُ: كَانَ يَمْنَعُهُمْ فَلَمَّا مَاتَ قَتَلُوهُ. فَانْطَلَقَ
أَبُو سُفْيَانَ وَأَبُو جَهْلٍ وَالنَّضْرُ بْنُ الْحَارِثِ وَأُمَيَّةُ
وَأُبَيٌّ ابْنَا خَلَفٍ وَعُقْبَةُ بْنُ أَبِي مُعِيط وَعَمْرُو بْنُ الْعَاصِ
وَالْأَسْوَدُ بْنُ البَخْتَري وَبَعَثُوا رَجُلًا مِنْهُمْ يُقَالُ لَهُ: "الْمُطَّلِبُ"
قَالُوا: اسْتَأْذِنْ لَنَا عَلَى أَبِي طَالِبٍ فَأَتَى أَبَا طَالِبٍ فَقَالَ:
هَؤُلَاءِ مَشْيَخَةُ قَوْمِكَ يُرِيدُونَ الدُّخُولَ عَلَيْكَ فَأَذِنَ لَهُمْ
عَلَيْهِ فَدَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا: يَا أَبَا طَالِبٍ أَنْتَ كَبِيرُنَا
وَسَيِّدُنَا وَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ آذَانَا وَآذَى آلِهَتَنَا فَنُحِبُّ أَنْ
تَدْعُوَهُ فَتَنْهَاهُ عَنْ ذِكْرِ آلِهَتِنَا ولندَعْه وَإِلَهَهُ. فَدَعَاهُ
فَجَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ أَبُو
طَالِبٍ: هَؤُلَاءِ قَوْمُكَ وَبَنُو عَمِّكَ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا تُرِيدُونَ ". قَالُوا: نُرِيدُ أَنْ
تَدَعَنَا وَآلِهَتَنَا ولندَعْك وَإِلَهَكَ. قَالَ لَهُ أَبُو طَالِبٍ: قَدْ
أَنْصَفَكَ قَوْمُكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ "أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَعْطَيْتُكُمْ هَذَا هَلْ أَنْتُمْ مُعْطِيَّ
كَلِمَةً إِنْ تَكَلَّمْتُمْ بِهَا مَلَكْتُمْ بِهَا الْعَرَبَ وَدَانَتْ لَكُمْ
بِهَا الْعَجَمُ وَأَدَّتْ لَكُمُ الْخَرَاجَ " قال أبو جهل: وأبيك لأعطينكها
وَعَشَرَةَ أَمْثَالِهَا [قَالَ] فَمَا هِيَ قَالَ: "قُولُوا لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ". فَأَبَوْا وَاشْمَأَزُّوا. قَالَ أَبُو طَالِبٍ: يَا ابْنَ
أَخِي قُلْ غَيْرَهَا فَإِنَّ قَوْمَكَ قَدْ فَزِعُوا مِنْهَا. قَالَ: " يَا
عَمِّ مَا أَنَا بِالَّذِي أَقُولُ غَيْرَهَا حَتَّى يَأْتُوا بِالشَّمْسِ
فَيَضَعُوهَا فِي يَدِي وَلَوْ أَتَوْا بِالشَّمْسِ فَوَضَعُوهَا فِي يَدِي مَا
قُلْتُ غَيْرَهَا".
Bahwa ketika Abu Talib di ambang
kematiannya, orang-orang Quraisy berkata, "Mari kita berangkat ke rumah
orang ini, lalu kita perintahkan dia agar mencegah keponakannya dari kita,
karena sesungguhnya kita benar-benar merasa malu bila membunuhnya sesudah dia
meninggal dunia. Lalu orang-orang Arab akan memberikan komentarnya, bahwa
dahulu Abu Talib melindunginya, tetapi setelah Abu Talib meninggal dunia mereka
baru berani membunuhnya. Maka berangkatlah Abu Sufyan, Abu Jahal, Nadr ibnul
Haris, Umayyah serta Ubay (keduanya anak Khalaf), Uqbah ibnu Abu Mu'it, Amr
ibnul As, dan Al-Aswad ibnul Bukhturi. Mereka terlebih dahulu mengutus seorang
lelaki dari kalangan mereka yang dikenal dengan nama Al-Muttalib. Mereka
berpesan kepadanya, "Mintakanlah izin bagi kami kepada Abu Talib (agar
kami diizinkan masuk menjenguknya)." Lalu utusan itu datang menemui Abu
Talib dan berkata kepadanya, "Mereka adalah para tetua kaummu, mereka
ingin masuk menjengukmu" Abu Talib mengizinkan mereka menjenguk dirinya,
lalu mereka masuk menemuinya dan berkata, "Hai Abu Talib engkau adalah
pembesar dan pemimpin kami. Sesungguhnya Muhammad telah menyakiti kami dan
sembahan-sembahan kami, maka kami menginginkan agar sudilah engkau
memanggilnya, lalu cegahlah dia, jangan mengata-ngatai sembahan-sembahan kami
lagi, maka kami pun akan membiarkannya bersama Tuhannya." Nabi Saw.
dipanggil, maka Nabi Saw. datang, dan Abu Talib berkata kepadanya, "Mereka
adalah kaummu, juga anak-anak pamanmu." Rasulullah Saw. bertanya, "Apa
yang kalian kehendaki?" Mereka menjawab, "Kami menginginkan agar
engkau membiarkan kami dan sembahan-sembahan kami, maka kami pun akan
membiarkan engkau dan Tuhanmu." Nabi Saw. berkata, "Bagaimana
pendapat kalian jika aku menyetujui hal itu? Apakah kalian mau memberiku suatu
kalimat yang jika kalian ucapkan kalimat ini niscaya kalian akan merajai semua
orang Arab dengannya dan tunduklah kepada kalian semua orang Ajam (selain
Arab), serta akan membayar upeti kepada kalian?" Abu Jahal bertanya,
"Demi ayahmu, kami benar-benar akan memberimu sepuluh kali lipat dari apa
yang engkau minta, tetapi apakah yang engkau maksudkan dengan kalimat
itu?" Nabi Saw. bersabda: Ucapkanlah, "Tidak ada Tuhan selain
Allah" Tetapi mereka menolak dan merasa enggan untuk mengucapkannya.
Abu Talib berkata, "Hai anak saudaraku, katakanlah yang lainnya, karena
sesungguhnya kaummu merasa kaget dengan ucapan itu." Rasulullah Saw.
berkata: Wahai paman, aku sekali-kali tidak akan mengatakan yang
lainnya hingga mereka mendatangkan matahari, lalu mereka letakkan di tanganku;
dan seandainya mereka dapat mendatangkan matahari, lalu meletakkannya di
tanganku ini, aku tetap tidak akan mengatakan yang lainnya.”
Nabi Saw. mengatakan demikian dengan
maksud memutuskan harapan mereka untuk dapat membujuk dirinya. Maka mereka
marah dan mengatakan, "Kamu benar-benar menghentikan cacianmu terhadap
sembahan kami, atau kami akan balas mencacimu dan Tuhan yang
memerintahmu?" Yang demikian itu adalah yang dimaksudkan di dalam
firman-Nya: karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan. (Al-An'am: 108)
Dari pengertian ini dapat ditarik
kesimpulan bahwa meninggalkan suatu maslahat demi mencegah terjadinya mafsadat
(kerusakan) yang jauh lebih parah daripada maslahat adalah hal yang
diperintahkan. Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
"مَلْعُونٌ مِنْ
سَبِّ وَالِدَيْهِ". قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يَسُبُّ الرَّجُلُ
وَالِدَيْهِ قَالَ: "يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ
أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ".
Terlaknatlah seseorang yang memaki
kedua orang tuanya. Mereka
(para sahabat) bertanya, "Ya Rasulullah, bagaimanakah seseorang dapat
mencaci kedua orang tuanya sendiri?" Rasulullah Saw. bersabda: Dia
mencaci bapak seseorang, lalu orang yang dicacinya itu balas mencaci bapaknya.
Dan dia mencaci ibu seseorang, lalu orang yang dicacinya itu balas mencaci
ibunya.
Muslim
Al-Muderat/fb Ababilkrejengan@gmail.com