AL- QUR’ÂN DAN PEMBAHASANNYA (Bagian Pertama)
Institut Ilmu Keislaman Zainul Hasan (INZAH) Genggong – Kraksaan –
Probolinggo
Moh. Ababil Rois
Ababilkrejengan@gmail.com
NPM :
2015.12.01.01.5825 SMT : V/C. PAI
A.
ASAL-USUL KATA AL-QUR’AN
Kitab suci kaum Muslimin,
yang berisi kumpulan wahyu Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw
selama kurang lebih 23 tahun, secara
populer dirujuk dengan nama “al- Qur’ân” القرآن . Sebagian besar
sarjana Muslim memandang nama tersebut secara sederhana merupakan kata benda
bentukan (masdar) dari kata kerja (fi’il) qara’a (قرأ) “membaca”. Dengan
demikian al- Qur’ân (القرآن) bermakna “bacaan” atau “yang dibaca”
(maqru’). Dalam manuskrip al- Qur’ân beraksara kufi yang awal, kata ini
ditulis tanpa menggunakan hamzah –yakni Qurân– dan hal ini telah
menyebabkan sejumlah kecil sarjana Muslim
memandang bahwa terma itu diturunkan dari akar kata qarana قرنَ “menggabungkan sesuatu
dengan sesuatu yang lain” atau “mengumpulkan”, dan al- Qur’ân berarti
“kumpulan” atau “gabungan”. Tatapi, pandangan minoritas ini harus diberi
catatan bahwa penghilangan hamzah merupakan suatu karakteristik dialek Mekkah
atau Hijazi,[1]
dan karakteristik tulisan al- Qur’ân dalam aksara kufi yang awal.[2]
Para sarjana barat yang
belakangan pada umumnya menerima pandangan Friedrich Schwally bahwa kata al-
Qur’ân merupakan (isytiqâq - pemecahan kata) dari bahasa Siria atau
Ibrani yaitu qeryânâ, qiryânî (lectio, bacaan atau yang dibaca),
yang digunakan dalam liturgi Kristen. Kemungkinan terjadinya pinjaman dari
bahasa Semit lainnya dalam kasus ini bisa saja dibenarkan., mengingat
kontak-kontak yang dilakukan orang-orang Arab dengan dunia lainnya. Lewat
kontak-kontak semacam itu, berbagai kata non-Arab telah dimasukkan kedalam
bahasa Arab atau diarabkan.[3]
Para ulama’ berbeda
pendapat mengenai lafadz al- Qur’ân. Sebagian berpendapat, penulisan
lafadz tersebut ditambah huruf hamzah (القرأن). Pendapat lain
mengatakan penulisannya tanpa tambahan huruf hamzah (القران). Asy-Syafi’i,
al-Farra’, dan al-Asy-‘ari termasuk di antara para ulama’ yang berpendapat,
bahwa lafadz al-Qur’ân ditulis tanpa huruf hamzah.[4]
- Al-Syafi’i (w. 204 H)[5] berpendapat, bahwa kata al-Qur’ân itu ditulis dan dibaca tanpa hamzah (القران bukan القرأن) dan tidak diambil dari kata lain. Ia adalah nama yang khusus dipakai untuk kitab suci yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw, sebagaimana Injil dan Taurat yang dipakai khusus untuk kitab-kitab tuhan yang diberikan masing-masing kepada Nabi Isa a.s dan Nabi Musa a.s.
- Al-Farra’ (w. 207 H)[6] berpendapat, bahwa lafal al-Qur’ân tidak pakai hamzah dan diambil dari kata قرَائِنْ jama’ قرِيْنة yang artinya indikator (petunjuk), hal ini disebabkan karena sebagian ayat-ayat al-Qur’ân itu serupa satu sama lain, maka seolah-olah sebagian ayat-ayatnya itu merupakan indikator dari apa yang dimaksud oleh ayat yang serupa itu.
- Al-Asy’ari (w. 324 H)[7] berpendapat, bahwa lafadz al-Qur’ân tidak memakai hamzah –berwazan fu’lan– dan diambil dari kata qarana (قرن) yang artinya menggabungkan. Hal ini disebabkan karena surat-surat dan ayat-ayat al-Qur’ân itu dihimpun dan digabungkan dalam satu mushaf.
- Al-Zajjaj (w. 311 H)[8] berpendapat, bahwa lafadz al-Qur’ân itu berhamzah (memakai-pen) berwazan fu’lan, dan diambil dari kata الْقَرْءُ yang artinya penghimpun. Hal ini disebabkan karena al-Qur’ân merupakan kitab suci yang menghimpun intisari ajaran-ajaran dari kitab-kit suci sebelumnya.
- Al-Lihyani (w. 215 H)[9] berpendapat, bahwa lafadz al-Qur’ân itu berhamzah di tegahnya (قرأن) bentuknya masdar (pecahan kata) dan diambil dari kata qara’a (قرء) yang artinya membaca. Hanya saja lafadz al-Qur’ân ini menurut al-Lihyani adalah masdar bi ma’na isim maf’ul. Jadi al-Qur’ân artinya maqru’un (dibaca).
Dari beberapa pendapat
diatas, pendapat terakhirlah yang tepat dan paling banyak di ikuti dan diterima
oleh jumhuriyah (mayoritas) para ulama’ karena relevan dengan
kaidah-kaidah gramatika Arab.
Lafadz qa-ra-‘a
yang bermakna tala (membaca) diambil orang-orang Arab dari bahasa Aramia dan
digunakanny dalam percakapan sehari-hari. Sebagaimana diketahui G. Bergstrasser
mengatakan, pengaruh bahasa-bahasa Aramia, Ethiopia dan Persia di dalam bahasa
Arab merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, karena bahasa-bahasa
tersebut merupakan bahasa bangsa-bangsa yang telah mengenal peradaban
berabad-abad sebelum hijrah, dan mereka bertetangga dengan bangsa Arab. Kenapa
kita heran dan tidak mempercayai pernyataan
G. Bergstrasser itu, padahal kita tahu bahwa berbagai dialek bahasa
Aramia dahulu pernah menguasai negeri-negeri Palestina, Suria, daerah-daerah
Caucasia dan sebagian negeri Irak. Juga kenyataannya bahwa bangsa Arab adalah
tetangga bangsa Yahudi, bangsa yang agamanya menggunakn bahasa Aramia, dan
mereka itulah yang mempercepat penyebaran lafadz-lafadz keagamaan Aramia.[10]
- DEFINISI AL-QUR’AN SECARA TERMINOLOGI MENURUT PARA ULAMA’
1.
Prof.
Dr. Mahmud Syaltut al-Azhar
القرأن :هو اللفظ
العربـي المنزَّل على نبينا محمد صلى الله عليه وسـلم
المنقول الينا بالتواتر .
Al-Qur’an adalah lafadz arab
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dan disampaikan kepada kita secara
mutawatir.
2. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi
al-Dimasyqi (min rawa’i al-qur’an)
الكلام
المعجز المنزل على النبى محمد صلى الله عليه وسـلم
المكتوب فى المصاحف والمنقول الينا بالتواتر المتعبد بتلاوته .
Kalamullah
yang mu’jiz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, yang tertulis dalam
mushaf, yang disampaikan (kepada kita) secara mutawatir dan membacanya di
anggap ibadah.
3.
Dr.
Muhammad Ali al-Shabuni.
القرأن :هو
الكلام المعجز المنزل على ختم الأنبياء والمرسلين بواسطة الأمين جبريل عليه السلام
المكتوب في المصاحف المنقول إلينا بالتواتر المتعبد بتلاوته المبدوء بسورة الفاتحة
المختتم بسورة الناس .
al-Qur’an adalah
kalamullah yang mu’jiz, yang diturunkan kepada penutup para Nabi dan Rasul
dengan perantara al-Amin (Jibril a.s) yang ditulis dalam mushaf
disampaikan kepada kita secara mutawatir membacanya mengandung ibadah yang
dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas.[11]
4.
Dr.
Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani al-Makki.
القرأن :هو
الكلام المنزَّل على سيدنا محمد صلى الله عليه وسـلم
المعجز بسورة منه.
Al-Qur’an adalah
kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang berupa mu’jizad
darinya.[12]
5.
Al-Allamah
Ali bin Muhammad Sayyid al-Jurjani.
القرأن : هو المنزّل على الرّسول
المكتوب فى المصاحف المنقول غنه نقلاً متواترًا بلا شبهة .
Al-Qur’an adalah
(kalamullah) yang diturunkan kepada rasul (Muhammad Saw) yang ditulis di dalam
mushaf dan yang diriwayatkan secara mutawatir tanpa keraguan.[13]
6.
Dr.
Manna’ al-Qaththan.
القرأن : هو كلام الله المنزّل على
محمد صلى الله عليه وسـلم المتعبد بتلاوته .
Al-Qur’an
adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dan membacanya
mengandung ibadah.[14]
Selain
definisi-definisi di atas masih banyak lagi definisi al-Qur’an lainnya. Hal ini
karena sulitnya mendefinisikan al-Qur’an tersebut yang didasarkan pada
pengertian, sifat dan hakikat, sehingga definisi tersebut hanya dapat
mengemukakan sebagian dari sifat-sifat yang esensial dan terpenting dari
al-Qur’an itu sendiri.
Namun
dari banyak definisi-definisi tersebut, dapat di sederhanakan menjadi tiga
bagian, yaitu ;
- Ulama’ yang meringkas definisi al-Qur’an.
Mereka
hanya menyebut dua sifat al-Qur’an atau definisi minim, seperti yang
diriwayatkan dengan mutawatir dan ditulis dalam mushaf-mushaf.
- Ulama’ yang mendefinisikan al-Qur’an secara sedang atau cukupan.
Yaitu
dengan menyebutkan tiga atau empat identitasnya saja, seperti lafadz yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, yang tertulis dalam mushaf-mushaf dan diriwayatkan dengan
mutawatir.
- Ada pula uama’ yang membuat definisi al-Qur’an secara maksimal, dengan panjang lebar, menyebut semua identitas al-Qur’an, sebagaimana defiisi yang dikemukakan oleh Dr. Muhammad Ali al-Shabuni.
Definisi
inilah yang dianggap sesuai dengan tujuan para ulama’ usuliyyin. Mereka
mendefinisikan al-Qur’an adalah lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
Saw,[15]
diriwayatkan secara mutawatir,[16]
dan membacanya merupakan ibadah.[17].[18]
- NAMA-NAMA AL-QUR’AN
Selain
nama al-Qur’an Allah Swt juga menamainya dengan beberapa nama, di antaranya :
1. Al-Qur’an.
Bulan
Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara
yang hak dan yang ba-til). (QS. 002 : 186)
Sesungguhnya
Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi
kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh, bahwa bagi
mereka ada pahala yang besar (QS. 017 : 9)
2.
Al-Kitab.
Kitab
(Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.
(QS. 002 : 2)
Dan Kami
turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah
diri.(QS. 016 : 89).
Mahasuci
Allah yang telah menurunkan Al-Furqan (Al-Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia
menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam. (QS. 025 : 1)
4.
Al-Dikr.
Sesungguhnya
Kamilah yang menurunkan Al-Dikr (Al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya. (QS. 015 : 9)
Dan Kami
turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS. 016 : 44).
5.
Al-Tanzil
Dan
sesungguhnya Al-Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. (QS.
026 :192)
Turunnya
Al-Dikr (Al-Qur'an) yang tidak ada keraguan padanya (adalah) dari Tuhan semesta
alam. (QS. 032 : 2)
Selain dari lima nama diatas (al-Qur’an, al-Kitab, al-Furqan,
al-Dikr dan al-Tanzil),[20] ulama’ berbeda pendapat
dalam memberikan nama lain dari al-Qur’an itu sendiri. Ada sebagian ulama’ yang
terlalu banyak memberikan nama al-Qur’an misalnya al-Imam Badruddin Muhammad
bin Abdullah al-Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhan Fii Ulum al-Qur’an, beliau
mengatakan bahwa nama al-Qur’an itu ada 55 macam yang dikutip dari al-Qadhi
Syaidzalah al-Syafi’i (dikenal juga dengan nama Abdul Ma’ali ‘Azizi bin
Abdullah, seorang ulama’ fikih madzhab Syafi’iyah penulis kitab al-Burhan Fi
Musykilat al-Qur’an wafat pada tahun 494 H).[21] Bahkan ada juga yang yang memberi nama
lebih banyak lagi Abu al-Hasan al-Harali (w. 647) menerangkan bahwa lebih dari
99 nama untuk al-Qur’an. Dr. Subhi al-Shalih mengomentari sependapat tersebut
bahwa sebagian ulama’ berlebih-lebihan di dalam menghitung jumlah nama-nama
untuk al-Qur’an tampaknya mereka tidak membedakan antara nama-nama untuk
al-Qur’an dengan sifat yang ada didalam al-Qur’an itu sendiri.
- BAHAN YANG DIGUNAKAN UNTUK MENYALIN AL-QUR’AN PADA MASA NABI SAW
Ada sejumlah informasi yang cukup ekstensif tentang bahan-bahan
yang digunakan untuk menyalin al-Qur’an. Informasi ini terutama didasarkan pada
laporan-laporan mengenai surat-surat yang dikirim Nabi Saw ke berbagai penguasa
dunia ketika itu dan laporan mengenai pengumpulan al-Qur’an yang dilakukan Zaid
bin Tsabit. Dalam laporan terakhir ini disebutkan sejumlah bahan yang ketika
itu digunakan untuk menyalin wahyu-wahyu yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada
Nabi Muhammad Saw, yaitu:
1.
Riqâ’ atau lembaran lontar
atau permanen, sebagaimana dijelaskan imam al-Suyuthi dalam kitab al-Itqân
fî ulûm al-Qurân nya.
2.
Likhâf atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari
kepingan batu kapur yang terbelah secara horisontal lantaran panas.
3.
‘asib atau pelepah kurma,
terbuat dari bagian ujung dahan pohon kurma yang tipis – salah satu surat Nabi
Saw kepada Udzra ditulis di atas bahan ini.
4.
Aktâf atau tukang belikat,
biasanya juga dari tulang rusuk unta.
5.
Adîm atau lembaran kulit,
terbuat dari kulit binatang asli (bukan permanen) dan merupana bahan
utama yang digunakan untuk menulis ketika itu.[22]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Amal, Taufik Adnan.
2001. Rekonstruksi Sejarah al- Qurân. Cet-1. Yogyakarta : Forum Kajian
Budaya dan Agama (FKBA).
Anwar,
Rusydi. 2015. Pengantar Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits. Cet-1.
Yogyakarta : IRCiSod.
al-Hafnawiy,
Muhammad Ibrahim. 2011. Mushthala al-Fuqaha Wa al-Ushuliyyin. Cet-4.
Cairo : Dar al-Salam al-Mishriyyah.
al-Hasani,
Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki. 2002. Qawa’id al-Asasiyah Fi Ulum
al-Qur’an. Cet-2. Jeddah : Hai’ah al-Shafwah.
al-Jurjani, Ali bin
Muhammad Sayyid. Tt. Mu’jam al-Ta’rifat. Beirut : Dar al-Fadhilah.
al-Shabuni,
Muhammad Ali. 2011. al-Tibyan Fi Ulum al-Qur’an. Cet-2. Pakistan :
Maktabah al-Busyra.
al Shalih, Subhi. 1999.
Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an. terj. Tim Pustaka Firdaus. Cet-7. Jakarta
: Pustaka Firdaus.
al-Sinan,
Hamad dan Fauzi al-Anjari. Tt. Ahlussunnah al-Asy’ariyah Syahadah al-Ulama’
al-Ummah Wa Adillatuhum. Tanpa Kota Penerbit : Dar al-Dhiya’.
al-Qaththan,
Manna’. 2000. Mabahits Fii Ulum al-Qur’an. Cet-11. Cairo : Maktabah
Wahbah.
Chana Aw,
Lilik dan Syaiful Hidayat. 2013. Ulum al-Qur’an dan Pembelajarannya. Cet-5.
Serabaya : Kompertais IV.
Djalal H.A,
Abdul. 2013. Ulumul Qur’an Edisi Lengkap. Cet-11. Surabaya : CV. Dunia
Ilmu.
Machfudz,
KH. Anas. 2012. Pahlawan Ahlussunnah : Menghadapi Sekte-sekte Bid’ah. Cet-1.
Surabaya : Khalista.
Syaltut,
Mahmud dan Ali as-Sayis. 2007. Fiqih Tujuh Madzhab. terj. Abdullah Zakiy
al-Kaf. Cet-2. Bandung : Pustaka Setia.
Link :
http://www.pustaka-ababilkrejengan.blogspot.com (Diakses : Kamis. 22 Juni 2017. 11:50)
(fb: Muslim Al-Muderat)
[1] Dengan demikian,
besar kemungkinannya bahwa Nabi Muhammad Saw sendiri membaca terma ini sebagai Qurân,
mengingat asal-usul etnisnya.
[2] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi
Sejarah al- Qurân, Cet-1, (Yogyakarta : Forum Kajian Budaya dan Agama,
2001), hal. 45.
[3] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi
Sejarah al- Qurân...45
[4] Subhi Al Shalih, Membahas
Ilmu-ilmu al-Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus, Cet-7, (Jakarta : Pustaka
Firdaus, 1999), hal.10
[5] Nama lengkapnya adalah
Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin Sa’ib bin
Abu Yazid bin al-Hasyim bin Abd al-Muthalib bin Abd al-Manaf. Lahir di Ghuzzah
(Gaza) – Palestina, lahir 150 H dan wafat 204 H. Mahmud Syaltut dan Ali as-Sayis, Fiqih
Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy al-Kaf, Cet-2, (Bandung : Pustaka
Setia, 2007), hal. 17. lihat pula Dr. Muhammad Ibrahim al-Hafnawiy, Mushthala
al-Fuqaha wa al-Ushuliyyin, Cet-4, (Cairo : Dar al-Salam al-Mishriyyah,
2011), hal. 121.
[6] Nama lengkapnya adalah
Abu Zakariya Yahya bin Ziyad al-Dailami lahir di Kufah dan wafat pada tahun 207
H. Seorang ulama’ ahli Bahasa Arab, Nawhu dan Tafsir. Salah satu karya
tafsirnya adalah Ma’ânil Qur’ân.
[7] Nama lengkapnya adalah
Ali bin Isma’il bin Abi Basyr Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdullah bin Musa
bin Bilal bin Abi Bardah bin Abi Musa Abdullah (adalah sahabat Nabi Saw yang
berasal dari Suku Asy’ar Suku di Negeri Yaman, maka nasabnya [al-asy’ari] murni
Arab ) bin Qais al-Asy’ari. Seorang ulama’ ahli ilmu kalam dan pendiri madzhab
al asy-ariyah. Lahir di Kota Basrah – Irak pada tahun 260 dan wafat pada tahun
324 H. Hamad al-Sinan dan Fauzi
al-Anjari, Ahlussunnah al-Asy’ariyah Syahadah al-Ulama’ al-Ummah Wa
Adillatuhum, (Tanpa Kota Penerbit : Dar al-Dhiya’, tt), hal. 39. Lihat pula
KH. Anas Machfudz, Pahlawan Ahlussunnah : Menghadapi Sekte-sekte Bid’ah, Cet-1,
(Surabaya : Khalista, 2012), hal. 75.
[8] Nama lengkapnya adalah
Abu Ishaq Ibrohim bin bin al-Sirriy. Seorang ulama’ ahli Bahasa Arab dan
penulis kitab Ma’âl Qurân. (lihat foot
note No. 07 Bab II, Subhi Al Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an .hal.11).
[9] Nama lengkapnya adalah
Abu al-Hasan Ali bin Hazim. Seorang ulama’ ahli Bahasa Arab dan buku karyanya
banyak di manfaatkan oleh Ibnu Sayyidih dalam menulis buku berjudul al-Mukhashshash.
[10] Subhi
Al Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an.hal.12-13.
[11] Muhammad Ali al-Shabuni,
al-Tibyan Fi Ulum al-Qur’an, Cet-2, (Pakistan : Maktabah al-Busyra,
2011), hal. 8
[12] Sayyid Muhammad bin Alwi
al-Maliki al-Hasani, Qawa’id al-Asasiyah Fi Ulum al-Qur’an, Cet-2,
(Jeddah : Hai’ah al-Shafwah, 2002), hal. 9
[13]
Ali bin Muhammad Sayyid al-Jurjani, Mu’jam al-Ta’rifat, (Beirut : Dar
al-Fadhilah, tt), hal. 149
[14] Manna’ al-Qaththan. Mabahits
Fii Ulum al-Qur’an, Cet-11, (Cairo : Maktabah Wahbah, 2000), hal. 16
[15] Kata “Diturunkan
kepada kepada Nabi Muhammad Saw”, berarti tidak termasuk sesuatu yang tidak
diturunkan kepada Nabi, seperti ucapan kita dan hadits nabi serta apa yang
diturunkan kepada nabi-nabi selain
Muhammad Saw, seperti Taurat, Injil dan lain-lain.
[16] Kata “Diriwayatkan
secara mutawatir” tidak termasuk didalamnya semua yang bukan al-Qur’an, ayat
yang dimansukh dan qira’at yang tidak mutawatir.
[17] Kata “Membacanya merupakan ibadah”, tidak termasuk hadits-hadit
qudsi meski diriwayatkan secara mutawatir.
[18] Lilik Chana Aw, dan
Syaiful Hidayat, Ulum al-Qur’an dan Pembelajarannya, Cet-5, (Serabaya :
Kompertais IV, 2013), hal. 8-9 dan Abdul
Djalal H.A, Ulumul Qur’an Edisi Lengkap, Cet-11, (Surabaya : CV. Dunia
Ilmu, 2013), hal. 10-12
[19] Kata al-Furqan berasal
dari Bahasa Aramia yang berarti “Memisahkan atau Membedakan”. Penamaan itu
mengisyaratkan bahwa al-Qur’an membedakan antara kebenaran dan kebathilan. Subhi al-Shalih, Membahas
Ilmu-ilmu al-Qur’an... hal. 13
[20]
Namun dikalangan ulama’ kontemporer antara al-Qur’an dengan al-Kitab tidaklah
sama (dibedakan) sebagai mana pendapat
Dr. Muhammad Syahrur dalam kitab terkenalnya al-Kitab Wa al-Qur’an
Qira’ah Mu’ashirah mengomentari sebagai berikut :
“Nama
al-Kitab, Umumnya dianggap sebagai persamaan dengan al-Qur’an. Karena
itu dalam tafsir-tafsir klasik, kata al-Kitab seperti pada QS. 002 : 2
ditafsirkan sebagai al-Qur’an (dzalikal kitabu : al-Qur’an). Akan tetapi
dalam tafsir-tafsir kontemporer, kata al-Kitab
justru dipahami sebagai sesuatu yang tidak mutlak sama dengan al-Qur’an”.
Bagi
Syahrur, kata al-Kitab tidak sama pengertiannya dengan al-Qur’an.
Dia berpendapat al-Kitab yang berasal dari bahasa Arab ka-ta-ba mengandung
arti “pengumpulan sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk memperoleh manfaat atau
membentuk sebuah tema yang sempurna”.
Dengan demikian, pengertian al-Kitab lebih mengarah pada arti
tema. Sebab menurut Syahrur ayat-ayat
yang tertera dalam lembaran-lembaran mushaf, dari surat al-Fatihah hingga surat
al-Nas terdiri atas berbagai macam “Kitab” dalam pengertian “Tema”.
Begitu
pula dengan nama Al-Furqan, kebanyakan mufassir (klasik), al-Furqan dipahami
sebagai sinonim (muradif) dari al-Qur’an. Akan tetapi, bagi Syahrur
al-Furqan adalah sama sekali bukan al-Qur’an melainkan bagian dari Ummu
al-Kitab yang diturunkan melalui proses Inzal dan Tanzil pada
bulan Ramadhan.
Selanjutnya
kata al-Dzikir, bagi Syahrur, kata adz-Dzikr dapat di definisikan
sebagai pengubahan (al-Qur’an) menjadi berbentuk bahasa manusiawi yang
secara literal berupa lingustik Arab. Dengan kata lain, term adz-Dzikr lebih
kepada proses verbalisasi al-Kitab yang terdapat di lauh mahfudzkedalam
bahasa Arab. Rusydi Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits, Cet-1,
(Yogyakarta : IRCiSod, 2015), hal. 24-28
[21] Subhi al-Shalih, Membahas
Ilmu-ilmu al-Qur’an... hal. 14
[22] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al- Qur’ân, hal.
151.