Download Kitab PDF Gratis

KIFAYATUL AKHYAR

Syaikh Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad al-Hishni al-Husaini, atau biasa disebut Taqiyuddin Abu Bakar al-Hishni, terkenal di kalangan pesantren tradisional. Kitabnya berjudul Kifayatu al-Akhyar fi Halli Ghayati al-Ikhtishar menjadi kitab yang wajib dipelajari di pesantren tradisional sebagai rujukan fikih Imam Syafi’i. Beliau bukan hanya ahli fikih, namun juga tersohor ahli ilmu tasawwuf. Nasabnya bersambung kepada Rasulullah saw.

Sebutan al-Hishni adalah nisbat kepada daerah asalnya “Hishni”, sebuah wilayah di desa Hauran, Damaskus. Taqiyuddin merupakan gelar keilmuan Syaikh al-Hishni karena kepakarannya dalam fikih madzhab Syafi’i.
Nama lengkapnya adalah Imam Abu Bakar bin Muhammad bin Abdul Mu’min bin Hariz bin Mualla bin Musa bin Hariz bin Sa`id bin Dawud bin Qasim bin Ali bin Alawi bin Naasyib bin Jawhar bin Ali bin Abi al-Qasim bin Saalim bin Abdullah bin Umar bin Musa bin Yahya bin Ali al-Ashghar bin Muhammad at-Taqiy bin Hasan al-Askari bin Ali al-Askari bin Muhammad al-Jawad bin Ali ar-Ridha bin Musa al-Kadzim bin Ja’far ash-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal Abidin Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Tholib at-Taqiy al-Husaini al-Hishni.
Ia dilahirkan pada tahun 752 H di Hauran. Sejak kecil ia pindah dari Hauran ke Damaskus untuk tujuan menuntut ilmu. Karena, kota Damaskus sangat baik untuk menimba ilmu-ilmu agama. Terdapat guru-guru besar dari berbagai bidang yang menetap di Damaskus dan tinggal di al-Badraiyah. Di Damaskus, Syaikh al-Hishni belajar kepada Syaikh Ibnu al-Syuraisyi, Syaikh Syihabuddin al-Zuhri, Syaikh Najmuddin bin al-Jabi, Syaikh Syamsuddin al-Sharkhady, Syaikh Syarafuddin al-Ghazzi, Syaikh Badruddin bin Maktum dan lain-lain.
Akhlak dan perilakunya yang tawadhu dan luhur menjadi tanda pengenal dia. Ia seorang sufi, berakhlak mulia, dan tidak sombong. Ia terbiasa keluar bersama muridnya, berkumpul dan bahkan bermain. Namun dengan tetap menjaga kehormatannya sebagai guru.
Ketika dia masih hidup, wilayah Damaskus pernah mendapat cobaan berat. Diserang oleh tentara Tamarlenk, keturunan Jengis Khan. Tentara ini sangat tamak, sebagaimana Jengis Khan, menumpahkan darah siapa saja yang menghalangi dan berambisi menegakkan kerajaan dunia di bawah pimpinannya. Namun, ia gagal. Mujahidin menghalau dia.
Kondisi ini tidak menghalangi Syaikh Abu Bakar al-Hishni untuk belajar dan mengajar. Setelah fitnah bangsa Tar Tar berhasil dipadamkan, Syaikh al-Hishni menjadi pusat perhatian penuntut ilmu. Namanya masyhur di negeri Syam. Di saat ini, Syaikh al-Hishni membatasi berbicara kepada orang. Kecuali terbatas pada tujuan ilmu. Namun, ia terbuka untuk menasihati kepada para Qadhi – Hakim – dan para pejabat kenegaraan. Ia dikenal Zuhud, menjauhi duniawi.
Sepanjang hidupnya, Syekh Taqiyuddin al-Hishni banyak menulis kitab besar dan bernilai tinggi. Diantaranya; Daf’u Syubahi Man Syabbaha Wa Tamarrada Wa Nasaba Dzalika Ila asy-Sayyid al-Jalil al-Imam Ahmad, Syarah Asmaullah al-Husna, At-Tafsir, Syarah Shohih Muslim 3 jilid, Syarah al-Arbain an-Nawawi, Ta’liq Ahadits al-Ihya, Syarah Tanbih 5 jilid, Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah Al-Ikhtishar, Syarah an-Nihayah, Talkhish al-Muhimmaat, Syarah al-Hidayah, Adab al-Akl wa asy-Syarab, Kitab al-Qawaa`id, Tanbih as-Saalik, Qami`un Nufuus, Siyarus Saalik, Siyarush Sholihaat, Al-Asbaabul Muhlikaat, Ahwal al-Qubur, al-Mawlid.
Dalam bidang akidah, ia menganut madzhab Imam Asy’ari. Dan kerap juga terlibat perdebatan dengan ulama’ pengkut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Ia memiliki kelebihan dan keutamaan yang jarang dimiliki orang lain. Disebutkan oleh Syekh Yusuf bin Ismail an-Nabhani dalam kitabnya Jaami` Karaamaatil Awliya` juz 1 halaman 621- 622, Syekh Taqiyuddin merupakan seorang ulama yang memiliki kemuliaan tinggi. Ia menyebutkan, sewaktu para mujahidin berperang di Cyprus, maka banyak diantara mereka yang melihatnya ikut membantu perjuangan umat Islam di Cyrus, sehingga akhirnya mereka memperoleh kemenangan.
Ketika mereka menceritakan hal itu kepada murid-muridnya di Damaskus, para muridnya menyatakan, bahwa Syekh Taqiyuddin tidak pergi kemana-mana dan senantiasa mengajarkan ilmu di Damaskus.
Di akhir usianya, ia selalu berdiam di Masjid al-Mazar selama beberapa tahun. Untuk beribadah, I’tiqaf dan mengkaji agama. Usia yang telah uzhur membuat penglihatan dan pendengarannya menurun. Namun, tidak mematahkan semangat untuk mengajar. Bahkan di saat fisiknya lemah. Ia tinggal di sebuah pemondokan. Hingga banyak orang datang untuk membantunya.
Pada tanggal 14 bulan Jumadil akhir tahun 829 H ia meninggal dunia. Di makamkan di dekat masjid Damaskus bersanding dengan makam ibunya. Dikisahkan, bahwa ketika beliau wafat, orang-orang ‘alim dan guru besar mengiringi jenazahnya, dihadiri ribuan umat Islam, hingga kota Damaskus penuh sesat oleh pentakziah. (A. Kholili Hasib)


KEHATI-HATIAN DALAM MEMBACA SURAH AL-FATIHAH


Madzhab Syafi’i berpendapat wajib hukumya membaca surah al-Fatihah bagi orang yang shalat sendirian atau pun shalat berjama’ah. Namun perlu diperhatikan disaat seseorang tersebut membaca surah al-Fatihah !.

Dalam Tafsir Al-Qurthubi bagian ke-25 dijelaskan: Mayoritas Ulama’ dan para Imam Qari’ mentasydidkan huruf ya’ (ي) pada lafadz (إيّاك) yang ada pada surah al-Fatihah tersebut.

Sementara Abu Ali Amr bin Fa’id al-Aswari al-Bashri, mengkasrahkan huruf alif pada lafadz iyaka tetapi beliau tidak mentsydidkan bacaan tersebut. Beliau berpendapat karena “Berat diucapkan dan juga karena terdapat harkat kasroh sebelumnya.” Bacan ini (riwayat Amr bin Fa’id) adalah bacaan tidak disukai. Sebab makna dari ayat ini (jika tanpa menggunakan tasydid) akan menjadi:

شمسَك نعبد أو ضوءَك ، وإياةُ الشمس بكسر الهمزةِ ضوْءُها وقد تُفتح .

“Kepada matahri-Mu kami menyembah, atau

hanya kepada cahaya-Mu (kami menyembah).”

 

Sebab makna dari (إياة الشمس – بكسر الهاء) Iyatus Syamsi bermakna “Cahaya Matahari.” Namun huruf hamzah itu pun terkadang di fathahkan atau dibaca fathah.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa lafadz al-Iyyah (الإياة) artinya cahaya, diperuntukkan untuk matahari, sedangkan lafadz al-Halah (الهالة) diperuntukkan untuk bulan. Al-Halah (الهالة) artinya lingkaran cahaya yang mengelilingi rembulan.

 


Tafsir Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an/Tafsir Imam al-Qurthubi, Tahqiq: *Dr. Abdullah bin Abdul Muhshin al-Turki*, (Penerbit Muassasah al-Risalah, Tahun 1427 H/2006 M, Beirut: Libanon, Juz 1, hal. 225)

 Ababilkrejengan@gmail.com


RASM USTMÂNÎY (Ababil Krejengan)


RASM USTMÂNÎY

A.    Definisi Rasm Ustmânî
Term Rasm  (الرَسم) artinya  (الأثر)  atau bekas peninggalan. Kata lain yang sama artinya adalah : الخَط ، الزُبُر ، السَطر ، الرَقْم ، الرَشم  semuanya berarti tulisan. Dari sinilah dapat difahami bahwa seorang penûlis yang telah menggoreskan penanya, maka ia akan meninggalkan bekas pada tulisan itu.[1] Rasm al-Qur’ân, Rasm Ustmânî atau Rasm al-Imâm adalah tata cara menuliskan al-Qur’ân yang ditetapkan pada masa Khalîfah Ustmân bin ‘Affân dengan kaidah-kaidah tertentu.[2]
Pada masa Khalîfah Ustmân bin ‘Affân, untuk ketiga kalinya terjadi kembali penulisan al-Qur’ân. Penyebabnya adalah dikarenakan adanya perbedaan cara membaca al-Qur’ân di antara prajurit Islam yang sedang berperang di kawasan Armeniâ dan Azerbaijân (Uni Soviet). Mereka berperang ada sebagian prajurit dari Negara Irak yang cara membaca al-Qur’ân mereka dari sahabat Nabî Saw yang bermukim disana, dan terdapat pula prajurit dari Syîria yang cara membacanya juga berasal dari sahabat Nabi yang lain dikirim kesana. Penyebab perbedaan cara membaca inilah menyebabkan terjadinya satu kelompok mengklaim bacaannya yang benar, di kelompok yang lain mengaku cara bacaannyalah yang paling benar. Kabar pertikaian ini akhirnya sampai kepada Khalîfah Ustmân bin ‘Affân di Madînah yang akhirnya Khalîfah Ustmân bin ‘Affân memprakarsai penulisan kembali kitab suci al-Qur’ân dengan tujuan agar kaum muslimin mempunyai rujukan tulisan al-Qur’ân yang benar-benar bisa di pertanggung-jawabkan (dengan kata lain Khalîfah Ustmân bin ‘Affân ingin mempersatukan Mushâf yang ada).[3]

B.     Asal-usul Rasm Ustmânî
Beberapa ahli peneliti dibidang sejarah mengungkapkan bahwa tulisan Arab seperti pada Rasm Usmâni, adalah “Pengembangan dari tulisan Nabtî yang pada gilirannya juga berawal dari penulisan Arâmî,” yang diperkiran eksis pada abad sembilan atau delapan sebelum masehi.
Dikemukakan bahwa tulisan yang terukir pada batu yang diperkirakan berasal dari abad sembilan sebelum masehi dipegunungan sekitar Irak, tertulis demikian(أبوهي)   maksudnya (أبوها). Kemudian pada penulisan Nabtî tercantum ; (هرثت) maksudnya (هارثت), atau (ملكو) maksudnya (مالك), (سالم) maksudnya (سلام) dan sebagainya.[4]
Dari beberapa contoh tulisan Nabti di atas banyak persamaannya dengan rasm yang ada sekarang ini. Jika orang Arab yang ada di semenanjung Arabi, khususnya lagi di Kota Makkah al-Mukarramah dan Kota Madînah al-Munawwarah, terkenal bangsa yang ummî, jika melihat perdagangan di kawasan Irak dan Syîria yang merupakan kawasan yang lebih maju, maka pendapat (teori) bahwa tulisan Arab adalah pengembangan dari tulisan Nabtî yang akhirnya bermuara pada tulisan Arâmî, adalah pendapat yang patut di perhitungkan kebenarannya.[5] Pendapat ini menjadi tanggung-jawab bagi para ahli kesejarahan keislaman khususnya dan bagi pecinta kajian Ulûm al-Qur’ân umumnya untuk menggandrungi sejarah kebudayaan bangsa-bangsa kuno.

C.     Macam-macam Rasm
Al-Qur’ân adalah firman Allâh Swt yang qadîm yang tidak ada kebosanan untuk didengarkan, yang disucikan dari ucapan, perbuatan dan kehendak penulisan manusia. Melihat dari spesifikasi cara penulisan kalimat-kalimat Arab, maka Rasm terbagi menjadi 3 macam, yakni :
1.         Rasm Qiyâsî (الرسم القِيَاسِى)
Ialah cara penulisan kalimat yang sesuai dengan ucapannya dengan memperhatikan waktu memulai dan berhenti pada kalimat tersebut kecuali nama huruf hija’iyah, seperti huruf (قَ) tidak ditulis seperti (قَافْ) tetapi cukup (قَ) saja.
Contoh dari Rasm Qiyâsî adalah lafal أنا ditulis dengan أنا walaupun jika dilanjutkan alifnya hilang seperti lafal انانذيرٌمبين ، bigitu juga dengan alif washal seperti جاء الحق . alif pada lafal الحق tetap harus ditulis, walaupun tidak diucapkan pada waktu ia berada di tengah kalimat, sebab jika dimulai dari awal kalimat maka diucapkan الحق جاء.
2.         Rasm ‘Arûdhî (الرسم العرُضِى)
Ialah cara penulisan kalimat-kalimat Arab disesuaikan dengan wazan dengan sya’ir-sya’ir Arab. Hal ini dilakukan untuk mengetahui “Bahr” (salah satu macam-macam sya’ir) dari syai’ir tersebut.
Contoh seperti  وليل كموج البحر ارخى سدوله  sepotong sya’ir Imri’il Qais tersebut, jika ditulis akan berbentuk ; وليلن كموج البحر أرخى سدو لهو  sesuai dengan kaidah فَعولن مفاعيلن فعولن مفاعيلن  sebagai timbangan syai’ir yang mempunyai “Bahr Takwil”.
3.         Rasm Ustmânî (الرسم العثمَانِى)
Ialah cara penulisan kalimat-kalimat al-Qur’ân yang telah disetujui oleh sahabat Usmân bin Affân pada waktu penulisan Mushâf. Rasm Ustmânî ini berbeda dengan Rasm Qiyâsî dari beberap segi.
Dalam Rasm Ustmânî lafal الصلاة ، الزكاة ، الحياة jika berupa isim al-ma’rifah atau isim nakirah atau di idhafah kan kepada isim zahir, ditulis demikian ; الصلوة ، الزكوة ، الحيوة dan seterusnya.[6]
Beberapa nilai positif dari penulisan dengan menggunakan kaidah Rasm Ustmânî, antara lain ;
a.       Rasm Ustmânî merupakan khazanah budaya penulisan huruf-huruf Arab secara umum pada masa al-Qur’ân diturunkan. Dengan demikian bagi para peneliti sejarah, Rasm Ustmânî akan memberikan konstribusi yang sangat besar, karena Rasm Ustmânî adalah rekaman sejarah dan kebudayaan Arab masa lalu.
b.      Rasm Ustmânî yang ada hingga saat ini sangat erat kaitannya dengan generasi para sahabat. Dengan demikian maka pembaca al-Qur’ân dengan melihat pada Rasm Ustmânî akan merasakan suasana emosional yang agamis antara dia dengan generasi umat Islam pada kurun abad pertama.
c.       Salah satu syarat diterimanya qirâat al-Qur’ân dari berbagai versi bacaan al-Qur’ân yang ada adalah jika qirâat tersebut cocok atau sesuai dengan Rasm Ustmânî. Penulisan al-Qur’ân dengan selain Rasm Ustmânî akan mengakibatkan adanya semacam kebingungan dalam menilai qirâat yang ada.
d.      Menjaga keautentikan al-Qur’ân hukumnya adalah wajib. Sedangkan tulisan akan terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

D.    Jumlah Mashahif  Usmâniyah
Pera ulama’ berselisih pendapat menganai berapa jumlah Mushâf yang ditulis oleh sang sekretaris Rasûlullâh Saw Zaid bin Tsâbit pada masa kepemimpinan Khalîfah Ustmân bin ‘Affân. Namun dari riwayat yang banyak beredar, pendapat tersebut dinyatakan bahwa yang paling masyhur sebanyak 6 ekslemper, yaitu :
1.      Mushâf Syâm yang dikirim ke kota Syâm dengan mengutus Sahabat al-Mughîrah bin Syihâb
2.      Mushâf Kûfah yang dikirim ke kota Kûfah dengan mengutus Sahabat Abdurrahmân al-Sulamî
3.      Mushâf Bashrah yang dikirim ke kota Bashrah dengan mengutus Sahabat Amir bin Qais
4.      Mushâf Madînah yang dikirim ke kota Madînah dengan memerintahkan Sahabat Zaid bin Tsâbit untuk memacakan/mengumumkan kepada penduduk Kota Madînah.
5.      Mushâf Mekkah yang dikirim ke kota Mekkah dengan mengutus Sahabat Abdullâh bin Sâib
6.      Mushâf al-Imâm (yakni Mushâf salinan yang disimpan sahabat Ustmân untuk dirinya sendiri). Dinamakan “Mushâf al-Imâm” karena boleh jadi Mushâf ini yang paling awal ditulis.[7]

E.     Tokoh dan Kitab-kitab Andalan dalam Rasm Ustmânî
Setelah terjadinya kodifikasi dan kompilasi al-Qur’an yang terlah dikirim ke berbagai daerah Negara Islam dengan mengutus imam qiraat yang kemudian menjadi imam qiraat di tempat tersebut, Syekh al-Imâm Ghânim al-Qaduri al-Hamad menjelaskan sebagaimana dikutip oleh Dr. Ahmad Fathoni dalam bukunya Rasm Ustmani para perawi atau tokoh-tokoh Rasm Ustmani sebagai berikut ;
1.      Abdurrahman bin Hurmus al-A’raj (w.119 H) dan Nafi’ bin Abdurrahman bin Nu’im (w.169 H) asal Kota Madinah al-Munawwarah yang kemudian menjadi Imam Rasm Ustmani sekaligus Imam Qiraat.
2.      ‘Ashim al-Juhduri (w.128 H) yang menjadi Imam Rasm Ustmani penduduk kota Basrah, yang meriwayatkan darinya adalah Mu’alla bin Isa al-Basri.
3.      Abu Darda’  Uwaimir al-Anshari (w.32 H) yang ditugaskan ke daerah Damaskus yang selain menjadi ahli Rasm Ustmani kemudian menjadi Imam Qiraat, yang meriwayatkan darinya adalah Abdullah bin Amir (w.188 H).
4.      Uluma’-ulama’ yang khusus meriwayatkan Rasm Mashahif Ustmani, baik dari Kota Syam, Kufah, Basrah, Madinah al-Munawwarah, Mekah al-Mukarramah, adalah Abu Amr bin Ala’, Ayyub bin Mutawakkil, Al-Yazidi, Abu ‘Ubaid, Abu Halim al-Sijistani dan Ibnu Mujahid.[8]

Adapun Penulis kitab terkemuka yang membahas Rasm Ustmani pada masanya, diantaranya adalah ;
1.      إختلافُ مصاحف الشام والحجاز والعراق karya Imam Abdullah bin ‘Amir al-Yahsabiy (w.118 H)
2.      إختلافُ مصاحف أهل المدينة وأهل الكوفة وأهل البصرة karya Imam al-Kisa’i (w.189 H) sebagai Imam Qiraat Kufah setelah Imam Hamzah.
3.      إختلاف أهل الكوفة ةالبصرة والشام في المصاحف karya Imam al-Farra’
4.      هحاء السنة karya Imam Ghazi bin Qais al-Andalusi (w.199 H) yang membukukan rasm mushaf Madinah.
5.        مورد الظمان karya Imam al-Kharraz (w.718 H) kitab yang berbentuk sya’ir.
6.      المقنع karya Imam Abu ‘Amr ad-Dani (371-444 H)
7.        التنزيل karya Imam Abu Daud (413-496 H), kitab ini yang dijadikan rujukan Rasm Ustmani untuk cetakan al-Qur’an al-Karim di Saudi Arabia, Mesir, Maghribi (Maroko), Syiria dan lainnya.[9]

F.      Perspektif  Ulama’ tentang  Rasm Ustmânî
Tentang pertanyaan apakah Rasm Ustmani Tauqifi Nabi Muhammad Saw atau Ijtihadi sahabat, para ulama’ terjadi perbedaan pendapat. Syekh Abdul Adhim al-Zarqani menjelaskan bahwa perbedaan pendapat para ulama’ dapat di klarifikasi menjadi tiga golongan, yaitu ;
1.         Menurut jumhur ulama’ bahwa rasm ustmani adalah tauqifi[10] yakni bukan produk budaya manusia yang wajib diikuti siapa saja ketika menulis al-Qur’an. Mereka bahkan sampai pada tingkat menyakralkannya. Mereka memandang bahwa rasm ustmani memiliki rahasia-rahasia yang sekaligus memperlihatkan makna-makna yang tersembunyi.[11]
2.         Sebagian besar ulama’ berpendapat bahwa rasm ustmani bukan tauqifi, akan tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan yang disetujui oleh Ustman bin ‘Affan dan diterima umat, sehingga wajib diikuti dan ditaati siapapun yang menulis al-Qur’an. Tidak boleh menyalahinya. Banyak ulama’ terkemuka yang menyatakan perlunya konsistensi menggunakan rasm Ustmani.
3.         Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasm ustmani bukanlah tauqifi. Tidak ada halangan untuk menyalahinya tatkala suatu generasi sepakat menggunakan cara tertentu untuk menulis al-Qur’an yang  nota bene berlainan dengan rasm ustmani.[12]



Ababil Krejengan
15 April 2019


[1] Ahmad Fathoni, Ilmu Rasm Usmâni, (Jakarta : PTIQ, 2013), hal. 9
[2] Rosihon Anwar, Ulûm al-Qur’ân, (Bandung : Pustaka Setia, 2013), hal. 48-49
[3] Ahmad Fathoni, Ilmu Rasm Usmâni…hal. 6
[4] Tulisan lebih banyak dikemukakan bisa dibaca pada kitab Rasm al-Mashâhif Dirâsiyah Lughâwiyah Tarîkhiyah karya Syekh al-Imâm Ghânim al-Qaduri al-Hamad. Bahkan Imâm Jalâluddîn al-Suyûthî memebuat bab khusus dalam kitabnya al-Itqân fî Ulûm al-Qur’ân bab ke 38 yang menjelaskan tentang “KOSA KATA YANG BUKAN BERASAL DARI BAHASA ARAB” lebih kurang sebanyak 120 Bahasa ‘A’jâmiy. 
[5] Ahmad Fathoni, Ilmu Rasm Usmâni…hal. 6
[6] Ahmad Fathoni, Ilmu Rasm Usmâni…hal. 9-12
[7] Pendapat lain menambahkan tentang adanya Mushâf Yaman, Mushâf Bahrain namun pendapat terakhir ini tidak diketahui siapa yang diutus ke daerah tersebut. Ali Isma’îl al-Sayyid Handawiy, Jâmi’ al-Bayân fi Ma’rifah Rasm al-Qur’ân (Riyadl : Dar al-Furqân, 1410 H), hal. 20.  Imâm al-Suyûthi berpendapat bahwa Mushâf yang dikirim ke berbagai wilayah dan Negeri Islâm sebanyak 5 Mushâf. Ibnu Abî Dawûd mengeluarkan sebuah riwayat dari jalan periwayatan Hamzah az-Zayyât, ia berkata: Utsmân telah mengirimkan 4 Mushâf. Ibnu Abi Dawûd juga berkata: aku pernah mendengar Abu Hâtim al-Sijistani berkata bahwa Utsmân menulis 7 Mushâf, kemudian mengirimkan (Mushâf-Mushâf) itu ke Makkah, Syâm, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kûfah, dan menahan satu Mushâf di Madînah. al-Itqân fî Ulûm al-Qur’ân, (Libanon : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2012), Juz II, hal. 253 pendapat lain menyatakan adanya 9 Mushâf yang beredar, yakni semuanya didistribusikan ke Kûfah, Bashrah, Mekkah, Syâm, Bahrain, Yaman, Mesir, Hijaz dan Madînah. M. Yudhie Haryono, Nalar al-Qur’ân : Cara Terbaik Memahami Pesan Dasar dalam Kitab Suci, (Jakarta : Nalar Penerbit, 2002), hal. 16
[8] Ahmad Fathoni, Ilmu Rasm Usmâni…hal. 19-20
[9] Ahmad Fathoni, Ilmu Rasm Usmâni…hal. 20
[10] Tauqifi adalah bukan buatan manusia kata lain ijtihad para sahabat, tetapi sesuatu yang ditetapkan berdasarkan wahyu Allah Swt dan Nabi Saw sendiri tidak mempunyai otoritas untuk menyangkalnya.
[11] Mengomentari pendapat di atas, Syekh Manna’ al-Qaththan berpendapat bahwa tidak ada satu riwayat pun dari Nabi yang bisa dijadikan alas an untuk menjadikan rasm ustmani menjadi tauqifi. Rasm Ustmani murni merupakan kreatif panitia empat atas persetujuan Ustman bin ‘Affan. Dr. Subhi al-Shalih juga sependapat dengan Syekh Manna’ al-Qaththan dengan sedikit redaksi yang berbeda.
[12] Rosihon Anwar, Ulûm al-Qur’ân… hal. 50-52

MUHKAM DAN MUTASYABIH (Ababil Krejengan)


MUHKAM DAN MUTASYABIH


Allah Swt berfirman : “Dialah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur'an) kepada kamu. Diantara isinya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-Qur'an; dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat.” QS.03:07
Kita dapat mengatakan, semua ayat al-Qur’an adalah Muhkam. Kalau yang kita maksud dengan “Muhkam” itu adalah kuat, kokoh, rapi dan susunannya yang indah dan sama sekali tidak mengandung kelemahan-kelemahan baik dalam hal lafadz-lafadznya, redaksinya, maupun maknyanya, berdasarkan QS.11:01. Dapat pula kita katakana bahwa semua ayat dalam al-Qur’an adalah “Mutasyabih/ât” itu dimaksudkan sebagai kesamaan ayat-ayatnya dalam hal bahasa dan i’jaz, serta dalam hal kesukaran membedakan mana ayat-ayat atau bagian al-Qur’an yang lebih utama, berdasarkan QS.39:23. Tetapi yang menjadi pembahasan adalah yang terdapat pada QS.03:07 sebagaimana tersebut di atas.
Ulama’ yang cukup intens (hebat dan kuat) membicarakan persoalan muhkam dan mutasyabih ini adalah al-Imam Abu Hasan Ali bin Hamzah al-Kisa’i (w.179/192 H), salah satu sarjana muslim yang terkenal sebagai ahli qira’ah, ia juga memiliki karya yang sangat penting yaitu, al-Mutasyabihat Fi al-Qur’an (yang menghimpun teks-teks al-Qur’an yang masuk dalam ayat mutasyabihat).[1]
  1. Definisi Muhkam dan Mutasyabih/ât.
Derivasi kata muhkam berasal dari kata ihkam (إحْكَم)  secara bahasa bermakna kekukuhan, kesempurnaan, kesaksamaan dan pencegahan. Namun semua pengertian ini pada dasarnya kembali pada makna pencegahan.[2] M. Quraish Shihab menjelaskan, kata muhkam berasal dari kata hakama (حَكمَ). Kata ini berkisar maknanya pada “menghalangi’. Seperti hukum, yang berfungsi menghalangi terjadinya penganiayaan, demikian juga hakim. Jadi muhkam adalah sesuatu yang terhalangi atau bebas dari keburukan.[3] Kata mutasyabih/ât terambil dari kata asy-syabah (الشّبَه) yang bermakna serupa (tapi tak sama). Yang dimaksud lafadz mutasyabih/ât pada ayat  QS.39:23 adalah “Ayat-ayat al-Qur’an serupa dalam keindahan dan ketetapan susunan redaksinya serta kebenaran informasinya.” Sedangkan pada QS.03:07 adalah “terdapat ayat-ayat yang samar” ini adalah pengembangan dari makna keserupaan di atas.[4]
Imâm Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân al-Suyûthî al-Syafi’î menyebutkan dalam kitabnya al-Itqân Fî ‘Ulûm al-Qur’ân, secara istilah definisi mukam dan mutasyabih/ât lebih kurangnya terdapat delapan makna, tiga diantarnya adalah ;
1.         Pendapat pertama
الْمُحْكَمُ مَا عُرِفَ الْمُرَادُ مِنْهُ إِمَّا بِالظُّهُورِ وَإِمَّا بِالتَّأْوِيلِ وَالْمُتَشَابِهُ مَا اسْتَأْثَرَ اللَّهُ بِعِلْمِهِ كَقِيَامِ السَّاعَةِ وَخُرُوجِ الدَّجَّالِ وَالْحُرُوفِ الْمُقَطَّعَةِ فِي أَوَائِلِ السُّوَرِ
Muhkam adalah yang diketahui maksudnya, baik karena kejelasan atau melalui pentakwilan. Dan mutasyabih/ât adalah yang hanya diketahui maknanya oleh Allah Swt, seperti terjadinya hari kiamat, keluarnya dajjal, huruf-huruf yang terputus-putus yang terdapat pada permulaan awal surat.
2.         Pendapat kedua
الْمُحْكَمُ مَا لَا يَحْتَمِلُ مِنَ التَّأْوِيلِ إِلَّا وَجْهًا وَاحِدًا وَالْمُتَشَابِهُ مَا احْتَمَلَ أَوْجُهًا.
Muhkam adalah yang hanya dapat ditakwilkan dengan satu penakwilan saja, dan mutasyabih/ât adalah yang mungkin dapat ditakwilkan dengan beberapa takwil
3.         Pendapat ketiga
الْمُحْكَمُ الْفَرَائِضُ وَالْوَعْدُ وَالْوَعِيدُ وَالْمُتَشَابِهُ الْقِصَصُ وَالْأَمْثَالُ.
Muhkam adalah hukum-hukum yang wajib, janji dan ancaman. Sedangkan mutasyabih/ât adalah yang terdapat pada kisah-kisah dan perumpamaan-perumpamaan.[5]

B.     Sikap Para Ulama’ terhadap ayat-ayat Muhkam dan Mutasabih/at
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai, apakah ayat-ayat mutasyabih/at itu dapat diketahui maknanya oleh manusia (dengan ijtihad masing-masing penafsir-pen) atau hanya dapat diketahui oleh Allah Swt saja.  Ibnu Habib al-Naisaburi mengemukakan tiga pendapat yang berkaitan tentang permasalahan muhkam dan mutasyabih/ât ini. Pertama, seluruh ayat-ayat al-Qur’an adalah muhkam (jelas maknanya) berdasarkan firman Allah dalam QS.11:01. Kedua, seluruh ayat dalam al-Qur’an hukumnya mutasyabih/ât (samar) berdasarkan QS.39:23. Pendapat Ketiga, ayat-ayat al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian yaitu, Muhkam dan Mutasyabih/ât, dan inilah pendapat yang tepat.
Abi al-Qasim al-Husain bin Muhammad al-Raghib al-Asfihani mengambil jalan tengah dalam menghadapi persoalan di atas, ia membagi ayat-ayat mutasyabih/at (dari segi kemungkinan mengetahui maknanya) pada tiga baian :
1.      Bagian yang tidak ada jalan sama sekali untuk mengetahuinya, seperti saat terjadinya hari kiamat, keluarnya dajjal dan sebagainya.
2.      Bagian yang menyebabkan manusia dapat mengetahui dan menemukan jalan untuk menafsirkan ayat-ayat tersebut, seperti kata-kata asing dalam al-Qur’an (Gharib al-Qur’an).
3.      Bagian yang terletak di antara keduanya, yakni yang hanya dapat diketahui orang-orang yang mendalam ilmu pengetahuannya, seperti Sahabat Abd Allah bin al-‘Abbas r.ma sebagaimana yang diisyaratkan oleh sabda Nabi Muhammad Saw kepadanya : “Ya Allah, Berilah pemahaman kepadanya dalam agama dan ajarkanlah takwil kepadanya.”

Secara garis besar sikap para ulama’ terhadap ayat-ayat mutasyabih/at terbagi menjadi dua kelompok : Pertama, Madzhab Mutaqaddimin (Generasi awal), yaitu para ulama’ yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih/at dan dengan sepenuhnya menyerahkan urusannya kepada Allah Swt (hanya Allah Swt yang mengetahui maknanya) tentang makna-makna ayat-ayat mutasyabih/at dalam al-Qur’an,  ulama’ yang ada dalam barisan ini adalah al-Imâm Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân al-Suyûthî al-Syafi’î sebagaimana ia menafsirkan ayat Alif Lam Mim dalam Tafsir Jalalain dan al-Imam al-Haramain[6]. Kedua, Madzhab Khalaf (Generasi setelahnya), yaitu sebagian ulama’ yang memberikan pen-takwil-an terhadap ayat-ayat mutasyabih/at, mereka menafsirkan kata “Istiwa’” dengan makna “keluhuran yang abstrak” berupa pengendalian Allah Swt terhadap alam raya ini tanpa merasa kepayahan. Kata “Kedatangan Allah” di takwilkan dengan “Kedatangan perintah-Nya.”, kata “Wajah dan Tangan Allah” ditakwilkan dengan “Pengawasan dan Kekuasaan-Nya.” dan seterusnya.[7]

C.     Contoh Sebagian Ayat-ayat al-Qur’an yang Bermiripan dan Mutasyabih
            Salah satu keistimewaan al-Qur’an adalah kata-katanya yang tidak bisa ditandingi oleh siapapun. Al-Qur’an digunakan oleh Nabi Muhammad Saw untuk menentang (menandingi) pada masanya dan pada generasi sesudahnya yang tidak mengimani tentang keautentikannya. Ayat-ayat al-Qur’an yang semuaya berjumlah ± 6.236, pendapat yang lain mengatakan berjumlah 6.218 ayat.
            Demikian juga dengan ayat-ayat al-Qur’an yang bermiripan, penulis menggunakan beberapa kitab yang dalam pembahasannya bertematik, yakni Al-Âyatu al-Mutasyâbihât al-Tasyâbuhu al-Lafdhiyyu Li al-Âyati : Hikamun Wa Asrârun Fawâidu Wa Ahkâmun karya dari Prof. Dr. ‘Abd Allâh bin Muhammad bin Ahmad al-Thayyâr.[8], Âyatu Mutasyâbihât al-Alfâdh Fi al-Qur’ân al-Karîm Wa Kaifa al-Tamyîz Bainahâ karya ‘Abd al-Muhsîn bin Hamad al-‘Abbâd al-Badr.[9] dan Dalîl al-Mutasyâbihât al-Lafdhiyah fi al-Qur’ân al-Karîm karya Dr. Muhammad bin ‘Abd Allâh al-Shaghîr.[10]
            Beberapa ayat yang serupa, antara lain sebagai berikut :
1
صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ
البقرة : 18
صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
البقرة : 171
2
وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
البقرة : 23
وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
يونس : 38
وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
هود : 13
3
وَاتَّقُوا يَوْمًا لَا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا وَلا يُقْبَلُ مِنْهَا شَفَاعَةٌ وَلا يُؤْخَذُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلا هُمْ يُنْصَرُونَ
البقرة : 48
وَاتَّقُوا يَوْمًا لَا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا وَلا يُقْبَلُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلا تَنْفَعُهَا شَفَاعَةٌ وَلا هُمْ يُنْصَرُونَ
البقرة : 123
4
وَظَلَّلْنَا عَلَيْكُمُ الْغَمَامَ وَأَنزلْنَا عَلَيْكُمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَى
البقرة :57
وَظَلَّلْنَا عَلَيْهِمُ الْغَمَامَ وَأَنزلْنَا عَلَيْهِمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَى
الأعراف : 160
5
أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلا يَهْتَدُونَ
البقرة :170
أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
المائدة : 104

Di antara penyebab terjadinya perbedaan antar kelompok umat Islam salah satunya adalah adanya ayat-ayat mutasyabih/at yang berbicara tentang sifat-sifat Allah Swt yang Mahasuci. Ayat-ayat yang di maksud adalah sebagai berikut :
1
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy. QS.20:5 [11]
2
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ
Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah. QS.28:88
3
يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
Tangan Allah di atas tangan mereka. QS.48:10 [12]
4
وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا
Dan datanglah Tuhanmu; sedangkan malaikat - malaikat berbaris-baris. QS.89:22 Yakni untuk memutuskan peradilan dengan hukum-Nya di antara makhluk-Nya.[13]

D.    Hikmah Keberadaan Ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih/at
Diantara hikmah keberadaannya ayat muhkam dan mutasyabih/at dalam al-Qur’an adalah untuk menguji umat manusia (Islam) antara yang mengimani dan sebagian lainnya berijtihad untuk mengetahui rahasia-rahasia yang terdapat pada beberapa ayat al-Qur’an, banyak di antara ulama’ yang menjelaskan hikmah keberadaan ayat-ayat muhkam dan mutasyabih ini, namun secara garus besar terbagi menjadi dua bagian, antara lain :
1.      Mutasyabih yang mungkin diketahui makna atau maksudnya
a.       Anjuran kepada para ulama’ untuk melakukan penelitian guna mengungkap aspek-aspek yang tersembunyi dari ilmu pengetahuan, dan pembahasan tentang kandungan dan kedalamannya.
b.      Timbulnya kelebihan dan perbedaan derajad. Karena jika semua al-Qur’an itu hanya terdiri dari dari ayat-ayat muhkam saja, maka takwil dan kajian yang mendalam terhadap al-Qur’an itu tidak dibutuhkan, dan semua manusia akan sama pengetahuannya tentangnya dan tidak ada keutamaan antara orang yang pandai dengan yang tidak pandai.
c.       Al-Qur’an itu mencakup seruan kepada masyarakat awam dan orang-orang yang memiliki pengetahuan yang luas.
2.      Mutasyabih tidak dapat diketahui makna atau maksudnya
a.       Ujian kepada para hamba untuk menahan diri dan berhenti padanya, menyerahkan dan menyibukkan diri untuk beribadah dengannya dengan cara membacanya. Dan hal ini menunjukkan kelemahan akal manusia untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an.
b.      Menunjukkan bahwa al-Qur’an itu diturunkan dengan bahasa Arab, namun mereka (orang arab) tidak mampu untuk mengetahui makna dan tujuannya, padahal mereka memiliki pemahaman dan ilmu balaghah yang tinggi.






[1] Rosihon Anwar, Ulum al-Qur’an, (Bandung : Pustaka Setia, 2013), hal. 119.
[2] Amroeni Drajat, Ulumul Qur’an : Pengantar Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Depok : Kencana, 2017), hal. 44. Ahmad Zuhdi, et.al, Studi al-Qur’an, (Surabaya : UIN Sunan Ampel, 2017), hal. 344-345.
[3] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir : Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an, (Tangerang : Lentera Hati, 2015), hal. 209
[4] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir…hal. 210
[5] Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Itqan Fi Ulum al-Qur’an, (Libanon : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2012), Juz 2, hal. 03. Selain Imam al-Suyuthi, yang menyebutkan delapan definisi tiga diantaranya diatas, M. Quraish Shihab dalam bukunya “Kaidah-kaidah Tafsir” menyebutkan empat makna muhkam dan 7 makna mutasyabih/ât. Rosihon Anwar dalam bukunya “‘Ulum al-Qur’an”  memberikan dua belas istilah tentang muhkam dan mutasyabih/ât ini, serta masih banyak lagi definisi-definisi dari para cendekiwan Muslim lainnya.
[6] Nama lengkapnya adalah ‘Abd al-Malik bin Abi Abd Allah bin Yusuf bin Muhammad al-Juwaini al-Syafi’i al-Iraqi, ia merupakan guru dari Imam Hujjah al-Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali dan murid terkemuka dari al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i radhiyallah ‘anhum.
[7] Shubhi al-Shalih, Mabahits Fi Ulum al-Qur’an, (Beirut : Dâr al-Ilmi Lil Malayîn), Cet-1, hal.
[8] Salah satu dosen Fakultas syarî’ah di Universitas al-Qâsimi – Riyâdh Saudi Arabia. Kitab ini diterbitkan oleh Dâr al-Tadmurayyah Kota Riyâdh cetakan pertama pada Tahun 2009.
[9]  Kitab ini diterbitkan oleh Dâr al-Fadhîlah Kota Riyâdh, edisi pertama pada Tahun 2002.
[10] Kitab ini diterbitkan oleh Dâr Thayyibah Kota Riyâdh edisi pertama pada Tahun 1997.
[11] Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy . Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. QS.7:54
[12] Yakni Dia selalu hadir bersama mereka, mendengar perkataan mereka, melihat tempat mereka, mengetahui apa yang tersimpan di dalam hati mereka dan juga apa yang mereka nyatakan. Sebenarnya Dialah yang dibaiat, sedangkan Rasulullah Saw. hanyalah sebagai perantara-Nya. Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm,tahqiq : Syâmî bin Muhammad al-Salâmah, Cet-2, (Riyâdh : Dâr al-Salâmah, 1999), Juz 7, hal.329
[13] Demikian itu terjadi setelah mereka memohon syafaat kepada Allah Swt. melalui penghulu anak Adam secara mutlak, yaitu Nabi Muhammad Saw. sebelumnya mereka meminta hal ini kepada para rasul dari kalangan ulul 'azmi seorang demi seorang, tetapi masing-masing dari mereka hanya menjawab, "Aku bukanlah orang yang berhak untuk mendapatkannya." hingga sampailah giliran mereka untuk meminta kepada Nabi Muhammad Saw. Maka beliau bersabda: Anâ Lahâ, Anâ Lahâ “Akulah yang  akan   memintakannya,   akulah  yang  akan memintakannya.” Maka pergilah Nabi Muhammad Saw. dan meminta syafaat kepada Allah Swt. untuk segera datang guna memutuskan peradilan. Dan Allah Swt. memberinya syafaat dengan meluluskan Permintaanya; peristiwa ini merupakan permulaan dari berbagai syafaat berikutnya. Inilah yang disebutkan dengan maqamul mahmud (kedudukan yang terpuji). sebagaimana yang telah dijelaskan dalam tafsir surat Al-lsra ayat 78. Lalu datanglah Allah Swt. untuk memutuskan peradilan sebagaimana yang dikehendaki-Nya, sedangkan para malaikat datang di hadapan-Nya bersaf-saf. Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm…Juz 8, hal. 399