Home » » RASM USTMÂNÎY (Ababil Krejengan)

RASM USTMÂNÎY (Ababil Krejengan)


RASM USTMÂNÎY

A.    Definisi Rasm Ustmânî
Term Rasm  (الرَسم) artinya  (الأثر)  atau bekas peninggalan. Kata lain yang sama artinya adalah : الخَط ، الزُبُر ، السَطر ، الرَقْم ، الرَشم  semuanya berarti tulisan. Dari sinilah dapat difahami bahwa seorang penûlis yang telah menggoreskan penanya, maka ia akan meninggalkan bekas pada tulisan itu.[1] Rasm al-Qur’ân, Rasm Ustmânî atau Rasm al-Imâm adalah tata cara menuliskan al-Qur’ân yang ditetapkan pada masa Khalîfah Ustmân bin ‘Affân dengan kaidah-kaidah tertentu.[2]
Pada masa Khalîfah Ustmân bin ‘Affân, untuk ketiga kalinya terjadi kembali penulisan al-Qur’ân. Penyebabnya adalah dikarenakan adanya perbedaan cara membaca al-Qur’ân di antara prajurit Islam yang sedang berperang di kawasan Armeniâ dan Azerbaijân (Uni Soviet). Mereka berperang ada sebagian prajurit dari Negara Irak yang cara membaca al-Qur’ân mereka dari sahabat Nabî Saw yang bermukim disana, dan terdapat pula prajurit dari Syîria yang cara membacanya juga berasal dari sahabat Nabi yang lain dikirim kesana. Penyebab perbedaan cara membaca inilah menyebabkan terjadinya satu kelompok mengklaim bacaannya yang benar, di kelompok yang lain mengaku cara bacaannyalah yang paling benar. Kabar pertikaian ini akhirnya sampai kepada Khalîfah Ustmân bin ‘Affân di Madînah yang akhirnya Khalîfah Ustmân bin ‘Affân memprakarsai penulisan kembali kitab suci al-Qur’ân dengan tujuan agar kaum muslimin mempunyai rujukan tulisan al-Qur’ân yang benar-benar bisa di pertanggung-jawabkan (dengan kata lain Khalîfah Ustmân bin ‘Affân ingin mempersatukan Mushâf yang ada).[3]

B.     Asal-usul Rasm Ustmânî
Beberapa ahli peneliti dibidang sejarah mengungkapkan bahwa tulisan Arab seperti pada Rasm Usmâni, adalah “Pengembangan dari tulisan Nabtî yang pada gilirannya juga berawal dari penulisan Arâmî,” yang diperkiran eksis pada abad sembilan atau delapan sebelum masehi.
Dikemukakan bahwa tulisan yang terukir pada batu yang diperkirakan berasal dari abad sembilan sebelum masehi dipegunungan sekitar Irak, tertulis demikian(أبوهي)   maksudnya (أبوها). Kemudian pada penulisan Nabtî tercantum ; (هرثت) maksudnya (هارثت), atau (ملكو) maksudnya (مالك), (سالم) maksudnya (سلام) dan sebagainya.[4]
Dari beberapa contoh tulisan Nabti di atas banyak persamaannya dengan rasm yang ada sekarang ini. Jika orang Arab yang ada di semenanjung Arabi, khususnya lagi di Kota Makkah al-Mukarramah dan Kota Madînah al-Munawwarah, terkenal bangsa yang ummî, jika melihat perdagangan di kawasan Irak dan Syîria yang merupakan kawasan yang lebih maju, maka pendapat (teori) bahwa tulisan Arab adalah pengembangan dari tulisan Nabtî yang akhirnya bermuara pada tulisan Arâmî, adalah pendapat yang patut di perhitungkan kebenarannya.[5] Pendapat ini menjadi tanggung-jawab bagi para ahli kesejarahan keislaman khususnya dan bagi pecinta kajian Ulûm al-Qur’ân umumnya untuk menggandrungi sejarah kebudayaan bangsa-bangsa kuno.

C.     Macam-macam Rasm
Al-Qur’ân adalah firman Allâh Swt yang qadîm yang tidak ada kebosanan untuk didengarkan, yang disucikan dari ucapan, perbuatan dan kehendak penulisan manusia. Melihat dari spesifikasi cara penulisan kalimat-kalimat Arab, maka Rasm terbagi menjadi 3 macam, yakni :
1.         Rasm Qiyâsî (الرسم القِيَاسِى)
Ialah cara penulisan kalimat yang sesuai dengan ucapannya dengan memperhatikan waktu memulai dan berhenti pada kalimat tersebut kecuali nama huruf hija’iyah, seperti huruf (قَ) tidak ditulis seperti (قَافْ) tetapi cukup (قَ) saja.
Contoh dari Rasm Qiyâsî adalah lafal أنا ditulis dengan أنا walaupun jika dilanjutkan alifnya hilang seperti lafal انانذيرٌمبين ، bigitu juga dengan alif washal seperti جاء الحق . alif pada lafal الحق tetap harus ditulis, walaupun tidak diucapkan pada waktu ia berada di tengah kalimat, sebab jika dimulai dari awal kalimat maka diucapkan الحق جاء.
2.         Rasm ‘Arûdhî (الرسم العرُضِى)
Ialah cara penulisan kalimat-kalimat Arab disesuaikan dengan wazan dengan sya’ir-sya’ir Arab. Hal ini dilakukan untuk mengetahui “Bahr” (salah satu macam-macam sya’ir) dari syai’ir tersebut.
Contoh seperti  وليل كموج البحر ارخى سدوله  sepotong sya’ir Imri’il Qais tersebut, jika ditulis akan berbentuk ; وليلن كموج البحر أرخى سدو لهو  sesuai dengan kaidah فَعولن مفاعيلن فعولن مفاعيلن  sebagai timbangan syai’ir yang mempunyai “Bahr Takwil”.
3.         Rasm Ustmânî (الرسم العثمَانِى)
Ialah cara penulisan kalimat-kalimat al-Qur’ân yang telah disetujui oleh sahabat Usmân bin Affân pada waktu penulisan Mushâf. Rasm Ustmânî ini berbeda dengan Rasm Qiyâsî dari beberap segi.
Dalam Rasm Ustmânî lafal الصلاة ، الزكاة ، الحياة jika berupa isim al-ma’rifah atau isim nakirah atau di idhafah kan kepada isim zahir, ditulis demikian ; الصلوة ، الزكوة ، الحيوة dan seterusnya.[6]
Beberapa nilai positif dari penulisan dengan menggunakan kaidah Rasm Ustmânî, antara lain ;
a.       Rasm Ustmânî merupakan khazanah budaya penulisan huruf-huruf Arab secara umum pada masa al-Qur’ân diturunkan. Dengan demikian bagi para peneliti sejarah, Rasm Ustmânî akan memberikan konstribusi yang sangat besar, karena Rasm Ustmânî adalah rekaman sejarah dan kebudayaan Arab masa lalu.
b.      Rasm Ustmânî yang ada hingga saat ini sangat erat kaitannya dengan generasi para sahabat. Dengan demikian maka pembaca al-Qur’ân dengan melihat pada Rasm Ustmânî akan merasakan suasana emosional yang agamis antara dia dengan generasi umat Islam pada kurun abad pertama.
c.       Salah satu syarat diterimanya qirâat al-Qur’ân dari berbagai versi bacaan al-Qur’ân yang ada adalah jika qirâat tersebut cocok atau sesuai dengan Rasm Ustmânî. Penulisan al-Qur’ân dengan selain Rasm Ustmânî akan mengakibatkan adanya semacam kebingungan dalam menilai qirâat yang ada.
d.      Menjaga keautentikan al-Qur’ân hukumnya adalah wajib. Sedangkan tulisan akan terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

D.    Jumlah Mashahif  Usmâniyah
Pera ulama’ berselisih pendapat menganai berapa jumlah Mushâf yang ditulis oleh sang sekretaris Rasûlullâh Saw Zaid bin Tsâbit pada masa kepemimpinan Khalîfah Ustmân bin ‘Affân. Namun dari riwayat yang banyak beredar, pendapat tersebut dinyatakan bahwa yang paling masyhur sebanyak 6 ekslemper, yaitu :
1.      Mushâf Syâm yang dikirim ke kota Syâm dengan mengutus Sahabat al-Mughîrah bin Syihâb
2.      Mushâf Kûfah yang dikirim ke kota Kûfah dengan mengutus Sahabat Abdurrahmân al-Sulamî
3.      Mushâf Bashrah yang dikirim ke kota Bashrah dengan mengutus Sahabat Amir bin Qais
4.      Mushâf Madînah yang dikirim ke kota Madînah dengan memerintahkan Sahabat Zaid bin Tsâbit untuk memacakan/mengumumkan kepada penduduk Kota Madînah.
5.      Mushâf Mekkah yang dikirim ke kota Mekkah dengan mengutus Sahabat Abdullâh bin Sâib
6.      Mushâf al-Imâm (yakni Mushâf salinan yang disimpan sahabat Ustmân untuk dirinya sendiri). Dinamakan “Mushâf al-Imâm” karena boleh jadi Mushâf ini yang paling awal ditulis.[7]

E.     Tokoh dan Kitab-kitab Andalan dalam Rasm Ustmânî
Setelah terjadinya kodifikasi dan kompilasi al-Qur’an yang terlah dikirim ke berbagai daerah Negara Islam dengan mengutus imam qiraat yang kemudian menjadi imam qiraat di tempat tersebut, Syekh al-Imâm Ghânim al-Qaduri al-Hamad menjelaskan sebagaimana dikutip oleh Dr. Ahmad Fathoni dalam bukunya Rasm Ustmani para perawi atau tokoh-tokoh Rasm Ustmani sebagai berikut ;
1.      Abdurrahman bin Hurmus al-A’raj (w.119 H) dan Nafi’ bin Abdurrahman bin Nu’im (w.169 H) asal Kota Madinah al-Munawwarah yang kemudian menjadi Imam Rasm Ustmani sekaligus Imam Qiraat.
2.      ‘Ashim al-Juhduri (w.128 H) yang menjadi Imam Rasm Ustmani penduduk kota Basrah, yang meriwayatkan darinya adalah Mu’alla bin Isa al-Basri.
3.      Abu Darda’  Uwaimir al-Anshari (w.32 H) yang ditugaskan ke daerah Damaskus yang selain menjadi ahli Rasm Ustmani kemudian menjadi Imam Qiraat, yang meriwayatkan darinya adalah Abdullah bin Amir (w.188 H).
4.      Uluma’-ulama’ yang khusus meriwayatkan Rasm Mashahif Ustmani, baik dari Kota Syam, Kufah, Basrah, Madinah al-Munawwarah, Mekah al-Mukarramah, adalah Abu Amr bin Ala’, Ayyub bin Mutawakkil, Al-Yazidi, Abu ‘Ubaid, Abu Halim al-Sijistani dan Ibnu Mujahid.[8]

Adapun Penulis kitab terkemuka yang membahas Rasm Ustmani pada masanya, diantaranya adalah ;
1.      إختلافُ مصاحف الشام والحجاز والعراق karya Imam Abdullah bin ‘Amir al-Yahsabiy (w.118 H)
2.      إختلافُ مصاحف أهل المدينة وأهل الكوفة وأهل البصرة karya Imam al-Kisa’i (w.189 H) sebagai Imam Qiraat Kufah setelah Imam Hamzah.
3.      إختلاف أهل الكوفة ةالبصرة والشام في المصاحف karya Imam al-Farra’
4.      هحاء السنة karya Imam Ghazi bin Qais al-Andalusi (w.199 H) yang membukukan rasm mushaf Madinah.
5.        مورد الظمان karya Imam al-Kharraz (w.718 H) kitab yang berbentuk sya’ir.
6.      المقنع karya Imam Abu ‘Amr ad-Dani (371-444 H)
7.        التنزيل karya Imam Abu Daud (413-496 H), kitab ini yang dijadikan rujukan Rasm Ustmani untuk cetakan al-Qur’an al-Karim di Saudi Arabia, Mesir, Maghribi (Maroko), Syiria dan lainnya.[9]

F.      Perspektif  Ulama’ tentang  Rasm Ustmânî
Tentang pertanyaan apakah Rasm Ustmani Tauqifi Nabi Muhammad Saw atau Ijtihadi sahabat, para ulama’ terjadi perbedaan pendapat. Syekh Abdul Adhim al-Zarqani menjelaskan bahwa perbedaan pendapat para ulama’ dapat di klarifikasi menjadi tiga golongan, yaitu ;
1.         Menurut jumhur ulama’ bahwa rasm ustmani adalah tauqifi[10] yakni bukan produk budaya manusia yang wajib diikuti siapa saja ketika menulis al-Qur’an. Mereka bahkan sampai pada tingkat menyakralkannya. Mereka memandang bahwa rasm ustmani memiliki rahasia-rahasia yang sekaligus memperlihatkan makna-makna yang tersembunyi.[11]
2.         Sebagian besar ulama’ berpendapat bahwa rasm ustmani bukan tauqifi, akan tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan yang disetujui oleh Ustman bin ‘Affan dan diterima umat, sehingga wajib diikuti dan ditaati siapapun yang menulis al-Qur’an. Tidak boleh menyalahinya. Banyak ulama’ terkemuka yang menyatakan perlunya konsistensi menggunakan rasm Ustmani.
3.         Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasm ustmani bukanlah tauqifi. Tidak ada halangan untuk menyalahinya tatkala suatu generasi sepakat menggunakan cara tertentu untuk menulis al-Qur’an yang  nota bene berlainan dengan rasm ustmani.[12]



Ababil Krejengan
15 April 2019


[1] Ahmad Fathoni, Ilmu Rasm Usmâni, (Jakarta : PTIQ, 2013), hal. 9
[2] Rosihon Anwar, Ulûm al-Qur’ân, (Bandung : Pustaka Setia, 2013), hal. 48-49
[3] Ahmad Fathoni, Ilmu Rasm Usmâni…hal. 6
[4] Tulisan lebih banyak dikemukakan bisa dibaca pada kitab Rasm al-Mashâhif Dirâsiyah Lughâwiyah Tarîkhiyah karya Syekh al-Imâm Ghânim al-Qaduri al-Hamad. Bahkan Imâm Jalâluddîn al-Suyûthî memebuat bab khusus dalam kitabnya al-Itqân fî Ulûm al-Qur’ân bab ke 38 yang menjelaskan tentang “KOSA KATA YANG BUKAN BERASAL DARI BAHASA ARAB” lebih kurang sebanyak 120 Bahasa ‘A’jâmiy. 
[5] Ahmad Fathoni, Ilmu Rasm Usmâni…hal. 6
[6] Ahmad Fathoni, Ilmu Rasm Usmâni…hal. 9-12
[7] Pendapat lain menambahkan tentang adanya Mushâf Yaman, Mushâf Bahrain namun pendapat terakhir ini tidak diketahui siapa yang diutus ke daerah tersebut. Ali Isma’îl al-Sayyid Handawiy, Jâmi’ al-Bayân fi Ma’rifah Rasm al-Qur’ân (Riyadl : Dar al-Furqân, 1410 H), hal. 20.  Imâm al-Suyûthi berpendapat bahwa Mushâf yang dikirim ke berbagai wilayah dan Negeri Islâm sebanyak 5 Mushâf. Ibnu Abî Dawûd mengeluarkan sebuah riwayat dari jalan periwayatan Hamzah az-Zayyât, ia berkata: Utsmân telah mengirimkan 4 Mushâf. Ibnu Abi Dawûd juga berkata: aku pernah mendengar Abu Hâtim al-Sijistani berkata bahwa Utsmân menulis 7 Mushâf, kemudian mengirimkan (Mushâf-Mushâf) itu ke Makkah, Syâm, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kûfah, dan menahan satu Mushâf di Madînah. al-Itqân fî Ulûm al-Qur’ân, (Libanon : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2012), Juz II, hal. 253 pendapat lain menyatakan adanya 9 Mushâf yang beredar, yakni semuanya didistribusikan ke Kûfah, Bashrah, Mekkah, Syâm, Bahrain, Yaman, Mesir, Hijaz dan Madînah. M. Yudhie Haryono, Nalar al-Qur’ân : Cara Terbaik Memahami Pesan Dasar dalam Kitab Suci, (Jakarta : Nalar Penerbit, 2002), hal. 16
[8] Ahmad Fathoni, Ilmu Rasm Usmâni…hal. 19-20
[9] Ahmad Fathoni, Ilmu Rasm Usmâni…hal. 20
[10] Tauqifi adalah bukan buatan manusia kata lain ijtihad para sahabat, tetapi sesuatu yang ditetapkan berdasarkan wahyu Allah Swt dan Nabi Saw sendiri tidak mempunyai otoritas untuk menyangkalnya.
[11] Mengomentari pendapat di atas, Syekh Manna’ al-Qaththan berpendapat bahwa tidak ada satu riwayat pun dari Nabi yang bisa dijadikan alas an untuk menjadikan rasm ustmani menjadi tauqifi. Rasm Ustmani murni merupakan kreatif panitia empat atas persetujuan Ustman bin ‘Affan. Dr. Subhi al-Shalih juga sependapat dengan Syekh Manna’ al-Qaththan dengan sedikit redaksi yang berbeda.
[12] Rosihon Anwar, Ulûm al-Qur’ân… hal. 50-52

Written by : Your Name - Describe about you

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Etiam id libero non erat fermentum varius eget at elit. Suspendisse vel mattis diam. Ut sed dui in lectus hendrerit interdum nec ac neque. Praesent a metus eget augue lacinia accumsan ullamcorper sit amet tellus.

Join Me On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for visiting ! ::

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar