Pahala yang terus mengalir Oleh; Moh Ababil Rois

Pahala yang terus mengalir
Oleh; Moh Ababil Rois




Sejak orang meninggal putuslah semua amalnya, ia tidak bisa menambah amal lagi. Akan tetapi setidaknya masih ada beberapa jalur dari alam dunia yang efektif memberi manfaat bagi orang yang telah meninngal dunia. Hal ini telah disabdakan oleh baginda Rasulullah SAW;

اذا مات الانسان انقطع عمله الا من ثلاث: صدقة جارية اوعلم ينتفع به او والد صالح يدعوله.

“ Apabila manusia sudah mati maka terputuslah amalnya, kecuali tiga macam (1) Sedekah jariyah, (2) Ilmu yang bermanfaat, dan (3) anak sholeh yang mendoakan kepadanya (orang tua).” HR.Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah. [1]
            Terputuslah Amalnya, Maksutnya, semua perbuatan amalnya berakhir sampai saat datangnya hari kematian.
            Kecuali tiga macam, Maksutnya, dalam hadits ini tidak membatasi jumlahnya, namun sekedar menyebutkan suatu rincian saja. Sebab, Rasulullah SAW,juga bersabda;

 سبع يجرى للعبد اجرهن وهو في قبره بعدموته من علم علما او اجرى نهرا او حفر بئرا او غرس نخلا او بنى مسجدا او ورث مصحفا او ترك ولدا يستغفرله.

“ Ada tujuh amal yang pahalanya mengalir terus kepada orang yang mengerjakannya, sekalipun ia sudah berada di dalam kubur sesudah matinya. Amal-amal tersebut yaitu; 1. Mengajarkan ilmu yang bermanfaat, 2. Mengalirkan sungai, 3. Menggali (membuat) sumur, 4. Menanam pohon kurma, 5. Membangun masjid, 6. Mewariskan mushaf (Al-Qur’an), 7. Meninggalkan anak yang mau memohonkan ampunan bagi dosa orang tuanya sepeninggal mereka. (HR. Imam Al Bazzar, Imam Samawaih dari sahabat Anas .[2]
            Mengalirkan sungai, Maksutnya membuat sungai atau membuat airnya dapat mengalir sehingga dapat menggelar manfaat yang lebih luas. Misalnya, dibuat bendungan kemudian di alirkan untuk kepentingan pertanian, perikanan,pelistrikan dll.
            Menggali sumur, Maksutnya membuat sumur yang bertujuan mengadakan air bersih, baik untuk keperluan wudhu’,minum,mandi, maupun bersesuci.
            Menanam pohon kurma, Maksutnya tidak harus pohon kurma semua jenis pohon yang bisa menggerakkan penghijauan yang bertujuan mencukupi kebutuhan, misalnya penghasil kayu, penyegar udara, dan penghasil bunga.
            Mewariskan mushaf atau Al-Qur’an, Maksutnya bisa mewariskan ilmu untuk dibaca, memahami,menghafal dan mengamalkan Al-Qur’an kepada generasi penerus melalui kegiatan pendidikan dan pengajian.
Dalam hadits lain disebutkan pula, “ Membangun rumah untuk penampungan orang-orang terlantar dan membangun Gedung/Madrasah untuk kegiatan keagamaan”.[3]





kritik dan saran kami harapkan melalui E-Mail kami; moh.ababil@yahoo.com



[1] Muhammad bin Allan ash Shiddiq, Daliilul Falihin Syarh Riyadlus Sholihin juz III/421, cek Darul Ma’rifah-Beirut.
[2] Al-Imam Jalaluddin As Suyuthi,  Fathul Kabir juz II/152, cek Darul Kutub Al Arobiyah.
[3] DR. Ahmad Syurbasyi, Yas’alunaka fiddin wal hayah juz II/336, cek Darul Jill-Beirut.

إذا صح الحديث فهو مذهبي

Apabila Shahih Hadits Maka itulah mazhabku

Memahami Wasiat Imam Syafi'i

Imam Syafi’i merupakan nama yang tidak asing lagi di telinga kita, terlebih lagi umat Islam Asia Tenggara umumnya merupakan penganut Mazhab beliau dalam bidang fiqh. Banyak mutira kalam Imam Syafii yang dikutip para ulama sesudahnya baik dalam ranah fiqh maupun lainnya.
Salah satu wasiat Imam Syafii yang cukup terkenal adalah;
إذا صح الحديث فهو مذهبي
Apabila saheh hadits maka itulah mazhabku

Wasiat beliau ini banyak di salah artikan, di mana banyak kalangan yang dengan mudahnya menyatakan bahwa pendapat Imam Syafii hanya dapat di amalkan bila sesuai dengan hadits shahih, sehingga saat ia menemukan satu hadits shahih maka ia langsung berpegang kepada dhahir hadits dan melarang mengikuti pendapat Imam Syafii dengan alasan mengamalkan wasiat Imam Syafii. Bahkan mereka menjadikan wasiat Imam Syafii ini sebagai hujjah tercelanya taqlid, mereka mengartikan wasiat ini sebagai larangan dari Imam Syafii untuk taqlid kepada beliau. Oleh karena itu kami tertarik ingin mengupas masalah ini.

Semua ulama sepakat bahwa kalam tersebut benar-benar wasiat Imam Syafii, tentang redaksinya ada beberapa riwayat yang berbeda namun memiliki maksud yang sama.
Lalu bagaimana sebenarnya maskud wasiat Imam Syafii ini? Apakah setiap pelajar yang menemukan sebuah hadits yang shahih bertentangan dengan pendapat Imam Syafii maka pendapat Imam Syafii tidak dapat di terima. Kalau hanya semudah itu tentu akan menjadi tanda tanya sejauh mana keilmuan Imam Syafii, terutama dalam penguasaan ilmu hadits.

Ada baiknya kita lihat bagaimana komentar Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ terhadap wasiat Imam Syafii tersebut. Imam Nawawi mengatakan :

وهذا الذى قاله الشافعي ليس معناه ان كل أحد رأى حديثا صحيحا قال هذا مذهب الشافعي وعمل بظاهره: وانما هذا فيمن له رتبة الاجتهاد في المذهب على ما تقدم من صفته أو قريب منه: وشرطه أن يغلب على ظنه أن الشافعي رحمه الله لم يقف على هذا الحديث أو لم يعلم صحته: وهذا انما يكون بعد مطالعة كتب الشافعي كلها ونحوها من كتب أصحابه الآخذين عنه وما أشبهها وهذا شرط صعب قل من ينصف به وانما اشترطوا ما ذكرنا لان الشافعي رحمه الله ترك العمل بظاهر أحاديث كثيرة رآها وعلمها لكن قام الدليل عنده على طعن فيها أو نسخها أو تخصيصها أو تأويلها أو نحو ذلك

“Bukanlah maksud dari wasiat Imam Syafii ini adalah setiap orang yang melihat hadits yang shahih maka ia langsung berkata inilah mazhab Syafii dan langsung mengamalkan dhahir hadits. Wasiat ini hanya di tujukan kepada orang yang telah mencapai derajat ijtihad dalam mazhab sebagaimana telah terdahulu (kami terangkan) kriteria sifat mujtahid atau mendekatinya. syarat seorang mujtahid mazhab baru boleh menjalankan wasiat Imam Syafii tersebut adalah telah kuat dugaannya bahwa Imam Syafii tidak mengetahui hadits tersebut atau tidak mengetahui kesahihan haditsnya. Hal ini hanya didapatkan setelah menelaah semua kitab Imam Syafii dan kitab-kitab pengikut beliau yang mengambil ilmu dari beliau. Syarat ini sangat sulit di penuhi dan sedikit sekali orang yang memilikinya. Para ulama mensyaratkan demikian karena Imam Syafii mengabaikan makna eksplisit dari banyak hadits yang beliau temukan dan beliau ketahui namun itu karena ada dalil yang menunjukkan cacatnya hadits itu atau hadits itu telah di nasakh, di takhshish, atau di takwil atau lain semacamnya”. (Majmuk Syarh Muhazzab Jilid 1 hal 64)

Dari komentar Imam Nawawi ini sebenarnya sudah sangat jelas bagaimana kedudukan wasiat Imam Syafii tersebut, kecuali bagi kalangan yang merasa dirinya sudah berada di derajat mujtahid mazhab yang kata Imam Nawawi sendiri pada zaman beliau sudah sulit di temukan.

Ulama besar lainnya, Imam Ibnu Shalah menanggapi wasiat Imam Syafii ini dengan kata beliau


وليس هذا بالهين فليس كل فقيه يسوغ له أن يستقل بالعمل بما يراه حجة من الحديث

“tugas ini bukanlah perkara yang mudah, tidaklah setiap faqih boleh mengamalkan hadits yang dinilainya boleh dijadikan hujjah”. (Ibnu Shalah, Adabul Mufti wal Mustafti hal 54, dar Ma’rifah)

Hal ini tak lain karena wawasan Imam Syafii tentang hadits yang sangat luas, sehingga ketika ada pendapat beliau yang bertentangan dengan satu hadits shahih tidak sembarangan orang bisa menyatakan bahwa Imam Syafii tidak mengetahui adanya hadits tersebut, sehingga pendapat beliau mesti ditinggalkan karena bertentangan dengan hadits. Karena boleh jadi Imam Syafii meninggalkan hadits shahih tersebut karena ada sebab-sebab yang mengharuskan beliau meninggalkan hadits tersebut, misalnya karena hadits tersebut telah di nasakh, takhsish dan hal-hal lain. Untuk dapat mengetahui hal tersebut tentunya harus terlebih dahulu menguasai kitab-kitab Imam Syafii dan shahabat beliau. Imam Nawawi yang hidup di abad ke 6 hijriyah mengakui sulitnya mendapati orang yang mencapai derajat ini.

Tentang wawasan Imam Syafii dalam ilmu hadits, Imam Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh Dimasyqi meriwayatkan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal :

ما أحد يعلم في الفقه كان أحرى أن يصيب السنة لا يخطئ إلا الشافعي

“tidak ada seorangpun yang mengetahui fiqh yang lebih hati-hati supaya sesuai dengan sunnah dan tidak tersalah kecuali Imam Syafii”. (Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq jilid 51 hal 350 dar Fikr)

Imam Ahmad bin Hanbal juga mengakui bahwa pendapat Imam Syafii memiliki hujjah yang kuat. Suatu hari, Abu Turab Al-Bashri sedang berdiskusi bersama Imam Ahmad bin Hanbal tentang suatu masalah. Tiba-tiba ada seorang laki-laki bertanya kepada Imam Ahmad :
يا أبا عبد الله لا يصح فيه حديث
“Wahai Abu Abdillah (panggilan Imam Ahmad bin Hanbal), tidak ada hadits shahih dalam masalah ini.”
Imam Ahmad menjawab :
إن لم يصح فيه حديث ففيه قول الشافعي وحجته أثبت شئ فيه
“Jika tidak ada hadits shahih dalam hal ini, sudah ada perkataan Asy-Syafi’i di dalamnya. Hujjahnya paling kokoh dalam masalah ini.” (Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq jilid 51 hal 351 dar Fikr)

Dalam sejarah ada beberapa ulama yang berusaha mengamalkan wasiat Imam Syafii tersebut seperti Abi Al-Walid Ibn Al-Jarud dan Abu Walid an-Naisaburi ketika mengamalkan hadits “orang berbekam dan yang dibekam batal puasanya” dan meninggalkan mazhab Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa berbekam tidak membatalkan puasa. Namun keduanya justru di tolak karena ternyata Imam Syafii meninggalkan hadits ini karena menurut Imam Syafii hadits ini adalah mansukh. Demikian juga dengan beberapa ulama Mazhab Syafii yang para awalnya meninggalkan pendapat Imam Syafii yang menyatakan sunat qunut shubuh dengan alasan hadits Nabi meninggalkan qunut merupakan hadits yang shahih, namun pada akhirnya mereka rujuk setelah mendapati bahwa pendapat Imam Syafii memiliki hujjah yang kuat dan tidak menentang dengan hadits shahih. (Lihat as-Subki, Ma’na Qaul Imam Muthallibi “Iza shahha al-hadits fahuwa mazhaby”, hal 91, 95)

Imam Syafii juga mengucapkan wasiat ini pada beberapa masalah di mana yang menjadi penghalang bagi beliau untuk berpendapat sesuai dengan hadits hanyalah keshahihan hadits tersebut yang masih beliau ragukan, sehingga beliau mengaitkan apabila shahih hadits maka itulah pendapatku. Atas dasar inilah, para ulama pengikut beliau meninggalkan beberapa pendapat jadid beliau dan malah berpegang kepada pendapat qadim, karena dalam qaul jadid yang menjadi penghalang bagi beliau untuk berpendapat sesuai dengan hadits hanyalah karena keraguan pada keshahihan hadits saja, sehingga setelah ulama setelah beliau melakukan analisa terhadap hadits tersebut dan di simpulkan bahwa hadits tersebut adalah hadits shahih maka mereka langsung berpegang kepada pendapat qadim karena mengamalkan wasiat beliau ini. Kita lihat penjelasan Imam Syarwani dalam hasyiah `ala Tuhfatul Muhtaj:

يعلم منه أنه حيث قال في شيء بعينه إذا صح الحديث في هذا قلت به وجب تنفيذ وصيته من غير توقف على النظر في وجود معارض؛ لأنه - رضي الله تعالى عنه - لا يقول ذلك إلا إذا لم يبق عنده احتمال معارض إلا صحة الحديث بخلاف ما إذا رأينا حديثا صح بخلاف ما قاله فلا يجوز لنا ترك ما قاله له حتى ننظر في جميع القوادح والموانع فإن انتفت كلها عمل بوصايته حينئذ وإلا فلا

Artinya : Bisa di ketahui bahwa jika Imam Syafi berkata pada satu tempat “jika sahih hadits pada masalah ini saya akan berpendapat demikian” maka wajib di tunaikan wasiat Imam Syafii tersebut tanpa tawaquf pada dalil lain yang menentang (mu’aridh) karena Imam Syafii tidak mengucapkan demikian kecuali apabila tidak ada lagi kemungkinan ada mu`aridh kecuali hanya tentang sahnya hadits tersebut, dengan sebalik bila kita temukan satu hadit syang shahih maka tidak boleh bagi kita meninggalkan pendapat Imam Syafii sehingga kita tinjau kembali seluruh dalil mu’aridh dan qawadih dan segala mani`, bila memang semuanya tidak ada maka baru bisa di amalkan wasiat beliau tersebut, jika tidak demikian maka tidak boleh ..(Imam Syarwani, Hasyiah Syarwani `ala Tuhfatul Muhtaj Jilid 3 Hal 481 Dar Fikr)

Ketentuan ini berlaku dalam semua Mazhab, Imam al-Qurafi dalam Syarah al-Mahshul setelah mengutip wasiat Imam Syafii tersebut berkata :

فإنه كان مراده مع عدم المعارض، فهو مذهب العلماء كافة وليس خاصاً به، وإن كان مع وجود المعارض فهذا خلاف الإجماع ...كثير من فقهاء الشافعية يعتمدون على هذا ويقولون: مذهب الشافعي كذا لأن الحديث صح فيه وهو غلط فإنه لا بد من انتفاء المعارض والعلم بعدم المعارض يتوقف على من له أهلية استقراء الشريعة حتى يحسن أن يقول لا معارض لهذا الحديث، وأما استقراء غير المجتهد المطلق فلا عبرة به

“Maksudnya adalah bila tidak ada dalil lain yang kontra. Ini adalah mazhab ulama seluruhnya bukan hanya khusus Mazhab Syafii. sedangkan bila ada dalil yang kontra maka hal ini adalah bertentangan dengan ijmak ulama…Banyak ulama fuqaha` Mazhab Syafii yang mencoba berpegang kepada perkataan Imam Syafii ini, mereka mengatakan ini adalah mazhab Syafii karena haditsnya shahih. Ini adalah hal yang salah karena harus tidak ada dalil lain yang kontra sedangkan untuk mengetahui tidak ada dalil yang kontra hanya mampu bagi kalangan yang memiliki kemampuan analisa syariat sehingga ia mantap menyatakan bahwa hadits ini tidak ada dalil lain yang kontra dengannya. Adapun analisa selain mujtahid mutlaq maka tidak di terima”. (al-Qurafi, Syarh Tanqih al-Fushul hal 450)

Imam Taqi as-Subki memberikan komentar mengenai syarat mengamalkan wasiat Imam Syafii yang di sebutkan oleh Imam Ibnu Shalah dan Imam Nawawi :

وهذا الذى قالاه رضي الله عنهما ليس راد لما قاله الشافعى ولا لكونها فضيلة امتاز بها عن غيره ولكنه تبيين لصعوبة هذا المقام حتى لا يغتر به كل احد

Artinya; perkataan keduanya (Imam Ibnu Shalah dan Imam Nawawi) ini bukan berarti menolak perkataan Imam Syafii sendiri dan bukan pula karena wasiat ini merupakan satu kelebihan yang membedakan beliau dengan ulama lainnya tetapi ini merupakan penerangan bagi sulitnya kedudukan ini sehingga tidak akan ada orang yang tertipu dengannya. (as-Subki, Ma’na Qaul Imam Muthallibi “Iza shahha al-hadits fahuwa mazhaby”, hal 93)
Maka dari penjelasan para ulama-ulama yang kami kutip di atas, bisa kita lihat bahwa tidaklah serta merta ketika seseorang menemukan satu hadits shahih sedangkan pendapat Imam Syafii sebaliknya maka ia langsung mengklaim bahwa pendapat Imam salah dan harus mengamalkan seperti dhahir hadits. Selain itu perkataan Imam Syafii tersebut bukanlah berarti sebagai larangan taqlid kepada beliau, sebagaimana sering di dengungkan oleh kalangan “anti taqlid kepada Imam mujtahid”. Murid-murid Imam Syafii yang belajar langsung kepada beliau masih taqlid kepada beliau, kemudian mereka juga mengajarkan fiqh Mazhab Syafii kepada murid-murid mereka sehingga mazhab Syafii tersebar ke seluruh penjuru dunia. Bila Imam Syafii semasa hidup beliau telah melarang taqlid kepada beliau tentunya mazhab beliau tidak akan tersebar, karena para murid-murid beliau tidak mengajarkan mazhab beliau tetapi mazhab mereka masing-masing. Namun kenyataannya adalah sebaliknya. Dakwaan bahwa Imam Syafii melarang taqlid kepada beliau hanya muncul belakangan semenjak lahirnya kaum anti taqlid kepada Imam Mujtahid.

Perlu di ingatkan bahwa ajakan berpegang kepada al-qur-an dan hadits langsung dan meninggalkan pendapat mujtahid merupakan yang hal berbahaya, karena nantinya setiap insan akan berani memahami ayat dan hadits dengan kepala mereka sendiri dengan sangkaan bahwa ilmu mereka cukup cukup untuk berijtihad, padahal ulama sekaliber Imam Ghazali, Imam Nawawi, Rafii dan Ibnu Hajar al-Haitami dan ulama besar lainnya ternyata masih bertaqlid kepada mazhab Syafii.
Pada hakikatnya, ajakan kembali kepada al-quran dan hadits hanyalah ajakan untuk mengikuti pemahaman al-quran menurut mereka yang berarti mengajak untuk taqlid kepada mereka semata dan meninggalkan taqlid kepada para imam mazhab yang telah di ikuti oleh umat ratusan tahun lamanya. Makanya di sini kami menyebutkan mereka dengan golongan “anti taqlid kepada Imam Mujtahid” karena ketika mereka mengajak meninggalkan mazhab dan menawarkan solusi kembali kepada al-quran dan hadits, ternyata penafsiran al-quran dan hadits yang mereka tawarkan adalah penafsiran versi mereka, artinya akan terjatuh kepada taqlid kepada mereka juga.
  
kritik dan saran kami harapkan melalui E-Mail kami; moh.ababil@yahoo.com

Syeikh Ismail Utsman Zain Menjawab

Hukum Kenduri di rumah kematian
Salah satu hal yang tak hentinya di sesatkan oleh kaum wahaby/salafy adalah kenduri di rumah kematian, padahal masalah ini adalah masalah perdebatan yang sudah lama sekali di jawab oleh ulama-ulama Ahlus sunnah. Diantara ulama-ulama yang menjelaskan hal tersebut adalah Syeikh Ismail Utsman Zain (1352- 1414 H), seorang ulama asal Yaman yang menetap dan mengajar di Madrasah Saulatiyah, Makkah selama 23 tahun. Beliau merupakan seorang ulama yang memiliki nama besar dan di akui keilmuan beliau oleh para ulama-ulama yang lain. Murid-murid beliau tersebur di seluruh penjuru dunia, tak terkecuali di Indonesia, bahkan beliau mengarang satu Risalah, Al-ajwibah as-Sunniyah ‘an As’ilah al-Indonesiyyah yang merupakan jawaban dari beberapa pertanyaan dari muhibbin dari Indonesia.

salah satu yang ditanyakan dalam risalah tersebut adalah hukum kenduri di rumah kematian, kemudian Syeikh Ismail Utsman Zain memberikan uraian jawaban secara ringkas, uraian beliau yang lebih panjang ada dalam kitab beliau yang lain yaitu kitab Raf`ul al-Isykal wa Ibthal al-Mughalah fi Hukm al-Walimah min Ahl al-Mayyit ba’d al-Wafat. Di sini kami akan menampilkan jawaban Syeikh Ismail Zain tentang hukum kenduri di rumah kematian, semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan menjadi pelega bagi hati kaum muslimin yang memberikan kenduri di rumah kematian dari tuduhan-tuduhan kaum salafi wahaby yang gencar-gencarnya membid’ahkan dan menyesatkan kaum muslim yang lain.

السؤال الثالث): ما قولكم في إطعام الطعام تصدقا وضيافة من أهل الميت للمعزين. بعض علمائنا يقول حرام إن كان قبل الدفن، ومحمودا إن كان بعد الدفن. وبعضهم يقول حرام إن كان بحضرة الجنازة أي في مجلس واحد وإلا فلا. وبعضهم يقول حرام مطلقا، لأن أغلب الناس أنهم يطعمون من تركة الميت أو من مالهم ومن بعض تركة الميت.

فالجواب) والله الموفق للصواب: أن الإطعام المذكور تصدقا وضيافة كما ذكر في السؤال من القرب والمسحبات الشرعية، لأن الضيافة من مكارم الأخلاق ومن ثمرات الإيمان. وفي الحديث الصحيح: {فمن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه}. والصدقة من أفضل القربات ومن الحسنات التي تنمو بالمضاعفات. قال الله تعالى {مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّئَةُ حَبَّةٍ وَاللّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاء} الآية. وقال تعالى: {وَأَقْرَضُوْا اللهَ قَرْضًا حَسَنًا} الآية. وسواء كانت الصدقة عن الميت فإن ثوابها يصل إليه بالإجماع أو كانت للمتصدق نفسه فهي من أعماله الصالحة التي تكون في كفة حسناته وحيث كانت بنية الميت فيشترط أن تكون من بالغ عاقل جائز التصرفات.

واعلم أن الوليمة من أهل الميت للمعزّين وغيرهم تعتبر من الأعمال الصالحة ومن أنواع البر فهي محمودة شرعًا، ما لم تكن من مال القاصرين. وقد أُلّفتْ في هذا الشأن رسالة مفيدة تسمى "رفع الإشكال وإبطال المغالاة في حكم الوليمة من أهل الميت بعد الوفاة"، فهي وافية بالمقصود حكما ودليلا، رواية ودراية. وحاصلها أن الأصل في الوليمة الإستحباب والإستحسان شرعًا، ولا تخرج عن هذا الأصل إلا لعارض. ولا فرق في ذلك بين كونها قبل الدفن أو بعده كما في الرسالة المذكورة
.
وأما قول السائل: "بعض علمائنا يقول حرام إن كان قبل الدفن ومحمود إن كان بعد الدفن وبعضهم يقول حرام إن كان بحضرة الجنازة أي في مجلس واحد وإلا فلا. وبعضهم يقول حرام مطلقا، لأن أغلب الناس أنهم يطعمون من تركة الميت أو من مالهم ومن بعض تركة الميت". فنقول إن بعض العلماء القائلين بهذا التفصيل والتقسيم وكذلك القائلون بالإطلاق فالجميع ليس لهم على ما يقولونه دليل ولا تعليل، وإنما ذلك مجرد آراء هي عند الإنصاف لا تصدر عن عامي فضلا عن عالم. وأعظم من ذلك قول السائل: "وبعضهم يقول حرام إن كان بحضرة الجنازة أي في مجلس واحد وإلا فلا". فهذا القول من العجائب والغرائب أن يصدر من شخص يقال إنه من العلماء. وقد قال الله تعالى: {وَلاَ تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُواْ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ. مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ}. عافانا الله تعالى من ذلك وجنبنا أسباب المهالك.
وأما كون الوليمة أو بعضها من تركة الميت، فإذا كانت برضا الورثة البالغين ومن نصيبهم فلا مانع من ذلك كما قدمنا، لأن التركة بعد وفاة الميت هي ملك الورثة، فلهم أن يطعموا منها أو من غيرها. هذا ما تيسر لي من الجواب باختصار. ومن أراد المزيد فعليه بالرسالة المذكورة آنفا، فإن فيها ما يكفي ويشفي. ونسأل الله تعالى أن يجعلنا ممن يستمعون القول فيتبعون أحسنه، ولا يجعلنا ممن يقفون ما ليس لهم به علم. وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسليما كثيرا والحمد لله رب العالمين.


Soal yang ketiga.
Bagaimana pendapatmu tentang memberi makanan dari keluarga mayat untuk bersadaqah dan menjamu bagi orang yang berta`ziah?

Sebagian ulama kita mengatakan haram jika sebelum di kuburkan mayat, dan terpuji (mamduh) jika setelah di kuburkan mayat. Sebagian yang lain mengatakan haram jika di hadapan jenazah maksudnya dalam satu majlis sedangkan bila bukan demikian maka tidak haram. Sebagian ulama yang lain mengatakan haram mutlak karena kebanyakan manusia menyediakan makanan dari harta peninggalan mayat atau dari harta mereka dan sebagian lagi dari harta peninggalan mayat!

Jawab.
Allah yang memberi taufiq kepada kebenaran. Menyediakan makanan tersebut sebagai shadaqah dan menjamu sebagaimana dalam soal merupakan sebagian dari perbuatan qurbah yang perbuatan sunat dalam syara`, karena dhiyafah (menjamukan) termasuk dari akhlak yang mulia dan merupakan kehasilan dari keimanan. Tersebut dalam satu hadits; barangsiapa beriman dengan Allah dan RasulNya maka hendaklah ia memuliakan tamu. Shadaqah termasuk dari seafdhal-afdhal qurbah dan termasuk kebaikan yang dibalas dengan balasan yang berganda. Allah berfirman: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allahadalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. (Q.S.al-Baqarah ayat 261) dan Allah juga berfirman : … mereka meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik…(Q.S. al-Hadid ayat 18).

Sama hukumnya shadaqah itu untuk mayat(di niatkan pahalanya untuk mayat), maka pahalanya bisa sampai kepada mayat berdasarkan ijmak para ulama atau shadaqah tersebut untuk diri orang bershadaqah maka ini termasuk dalam amalan shalih yang berada dalam neraca kebaikan (kelak di akhirat) Apabila diniatkan untuk si mayat maka disyaratkan harus dilakukan oleh orang yang baligh yang boleh mempergunakan harta (ahli tasharruf)

Ketahuilah bahwa kenduri dari keluarga mayat untuk orang yang ta`ziyah dan yang lain termasuk dalam amalan shalih dan bagian kebaikan maka perbuatan ini terpuji dalam pandangan syara` selama bukan berasal dari harta orang yang kurang (maksudnya harta orang yang tidak memiliki wewenang sendiri dalam menggunakan harta seperti anak-anak, orang gila, safih, dan muflis) dan sungguh saya telah mengarang satu risalah yang berfaedah yang bernama “Raf`ul al-Isykal wa Ibthal al-Mughalah fi Hukm al-Walimah min Ahl al-Mayyit ba’d al-Wafat”. Risalah ini merupakan satu kitab yang memenuhi tujuan baik dalil atau illatnya baik secara riwayat ataupun dirayah.

Kesimpulannya, bahwa asal dalam kenduri adalah sunat dan merupakan perbuatan baik dalam syara` dan tidak akan keluar dari asal ini kecuali karena ada faktor luar (‘aridhy) dan hal ini tidak ada bedanya baik dilaksanakan kenduri tersebut sebelum di tanam mayat ataupun setelahya sebagaimana kami sebutkan dalam risalah tersebut.

Adapun perkataan penanya:
Sebagian ulama kita mengatakan haram jika sebelum di kuburkan mayat, dan terpuji jika setelah di kuburkan mayat. Sebagian yang lain mengatakan haram jika di hadapan jenazah maksudnya dalam satu majlis sedangkan bila bukan demikian maka tidak haram. Sebagian ulama yang lain mengatakan haram mutlak karena kebanyakan manusia menyediakan makanan dari harta peninggalan mayat atau dari harta mereka dan sebagian lagi dari harta peninggalan mayat!

Maka kami menjawab:
Sungguh sebagian kalangan ulama yang mengatakan dengan rincian dan pembagian ini dan juga yang mengatakan secara mutlak maka tidak ada dalil maupun alasan (ta’lil) bagi mereka. Itu semua hanyalah semata-mata pendapat belaka yang sebenarnya bila mau bersikaf adil pendapat seperti demikian tidak akan keluar dari orang awam apalagi orang yang alim.

Dan yang lebih parah lagi adalah pendapat yang mengatakan bahwa haram jika di hadapan jenazah maksudnya dalam satu majlis dan jika bukan di hadapan jenazah maka tidak haram. Pendapat ini adalah pendapat yang aneh dan gharib yang tidak akan keluar dari seseorang yang dikatakan sebagai ulama.

Allah berfirman:
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit, dan bagi mereka azab yang pedih.(Q.S. an-Nahl ayat 116-117)

Semoga Allah menjaga kita dari hal demikian dan dari sebab-sebab kebinasaan.

Adapun bila seluruh kenduri tersebut atau sebagiannya berasal dari harta peninggalan si mayat maka jika ada ridha dari ahli waris yang telah baligh dan di ambil dari bagian mereka maka tidak ada hal yang menjadi penghalangnya(maksudnya tidak adahal yang menyebabkannya haram) sebagaimana telah kami sebutkan terdahulu, karena harta peninggalan setelah wafat menjadi milik ahli waris, maka mereka boleh saja memberikanya dari harta tersebut atau dari harta yang lain.

Inilah kemudahan bagi kami dalam menjawab dengan ringkas. Barangsiapa yang menginginkan uraian yang lebih maka silahkan melihat Risalah kami yang kami sebutkan barusan, karena disana ada jawaban yang memadai dan menyejukkan.

Semoga Allah menjadikan kita termasuk dalam golongan orang-orang yang mendengar perkataan dan mengikuti yang paling baik. Dan jangan di jadikan kita termasuk dalam golongan orang yang menahan hal yang sama sekali tidak ada ilmunya bagi mereka.

Dan Rahmat sejahtra atas penghulu kita Sayyidina Muhammad dan keluarga beliau dan shahabat beliau dan sejatra yang banyak. wal hamdulillahi Rabbil Alamin.
Al-ajwibah as-Sunniyah ‘an As’ilah al-Indonesiyyah, Syeikh Ismail Utsman Zain al-Yamani al-Makky

Maka dari uraian panjang Syeikh Ismail Zain tersebut dapatkan kita simpulkan tentang hukum kenduri di rumah kematian.
  1. Boleh bahkan sunat, selama tidak di ambil dari harta peninggalan yang menjadi hak ahli waris yang belum baligh, baik diambil dari harta warisan yang menjadi bagian ahli waris yang telah baligh atau di ambil dari hartanya pribadi ahli waris ataupun hasil dari shadaqah pihak-pihak yang lain
  2. Bila menggunakan harta orang-orang yang belum baligh, antara lain harta ahli peninggalan mayat yang ahli warisnya anak-anak yang belum baligh maka hukumnya haram, hal ini karena orang yang mengelola harta anak-anak tidak boleh menggunakan harta tersebut untuk hal-hal yang tidak membawa keuntungan bagi harta tersebut termasuk tidak boleh digunakan untuk bersadakah.
  3. Hukum melakukan kenduri kematian ini sama saja hukumnya baik dilakukan setelah mayat di kebumikan ataupun sebelumnya.
 kritik dan saran kami harapkan melalui E-Mail kami; moh.ababil@yahoo.com
Sumber; http://lbm.mudimesra.com/2013/06/jawaban-syeikh-ismail-utsman-zain.html

Mewaspadai Tokoh Salafi Wahabi

Mewaspadai Tokoh Salafi Wahabi




            Pembaca budiman, marilah kita mengenali siapa saja Tokoh Salafi Wahabi agar kita dapat waspada dan terhindar dari keburukannya :

1.      Muhammad bin Abdul Wahab
2.      Abdul Aziz bin Abdullah Baz
3.      Abdullah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
4.      Muhammad Nashiruddin Al-Albani
5.      Dr. Shalih ibnu Fauzan
6.      Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i
7.      Rabi’ bin Hadi Al-Madkholi
8.      Hamud bin Abdullah Attuwaijiri
9.      Bakar bin Abdullah Abu Zaid
10. Muhammad bin Jamil Zainu
11. Abdurrahman bin Nashir As Sa’di
12. Muhammad bin Ibrahim Alu Syekh
13. Muhammad Al-Amin Asy Syinqithi
14. Abdul Qadir Al-Arna’uth
15. Muhammad Aman bin Ali Al-Jami
16. Ali bin Hasan bin Ali Al-Halabi
17. Ahmad bin Yahya An-Najmi
18. Ubaid bin Abdullah Al-Jabiri

Tokoh Salafi Wahabi Generasi Baru
            Nama nama semisal Ulama’ Wahabi diatas mungkin banyak dikenal sebagai Tokoh Salafi Wahabi. Akan tetapi, anak murid mereka belum banyak dikenal juga banyak mengarang banyak berbagai macam buku, seperti halnya guru-guru mereka, untuk mengarahkan dan menyimpangkan umat ini kepada Aqidah mereka. Secara umum, mereka semua berdomisili di Saudi Arabia.
            Nama nama tokoh Salafi Wahabi generasi baru yang belum mulai popular itu adalah :
Abdul Azim Badawi, Abdul Aziz Alu Syekh, Abdul Aziz Bura’I, Abdul Aziz bin Abdullah Ar-Rajihi, Abdul Aziz bin Faishal Arrajihi, Abdul Aziz bin Hamad Ibnu Nashir Ma’mar, Abdul Aziz bin Muhammad Alu Abdullatif, Abdul Aziz bin Rasyid Ar Rayis, Abdul Latif bin Abdurrahman Alu Syekh, Abdul Malik Ramadhani Al-Jaziri, Abdul Muhsin Al’Ubaikan, Muhsin bin Hamad Al Abbad.

Untuk Generasi Selanjutnya antara lain :
            Abdullah bin Shalih al Khulaifi, Abdullah Al Fauzan, Abdullah al Ghudayyan, Abdullah az Zhafiri, Abdullah bin Abdurrahim al Bukhari, Abdullah bin Abdurrahman Aba Bathin, Abdullah ibnu Abdurrahman al Jibrin, Abdullah bin Muhammad ad Duwaisy, Abdullah bin Muhammad Alu Syekh, Abdullah bin Muhammad Humaid, Abdullah bin Sulaiman al Mani’, Abdullah Ibrahim al Jarullah, Abdurraza’ ‘Afifi, Abdurrahman bin Hasan Alu Syekh, Abdurrahman bin Muhammad Qasim al Ashimi, Abdurahman bin Shalih al Mahmudah, Abdurrahman bin Yahya bin Ali al Mu’allimi, Abdus Salam Barjaz, Abu Abdul Mu’iz Firkuz, Abu Ashim al Ghamidi, Abu Bakar al Humaidi, Abu Bakar al Mishri, Abu Hatim Usamah al Qusi, Abu Ishaq al Huwaini, Abu Islam Shalih Thaha, Abu Malik al Juhanni, Abu Umar al ‘Utaibi, Ahmad bin Ibrahim ibnu Hamad Isa, Ali bin Abdul Aziz asy Syubal, Ali Yahya al Haddadi, Alwi as Segaf, Aman bin Ali al Jami’, Bashim bin Faishal al Jawabirah, Fauzan bin Sabiq ibnu Fauzan as Sabiq, Hafizh bin Ahmad bin Ali al Hakami, Hamad bin Ali bin Muhammad Athiq, Hamad bin Muhammad al Anshari, Husain bin ‘Audah al ‘Awayisyah, Ibrahim bin Shalih bin Ahmad al Khuraishi, Ibrahim bin ‘Ubaid al Muhsin, Ibrahim bin ‘Amir ar Ruhaili, Khalid bin Abdullah al Mushlih, Mahmud bin Syukri al Alusi, Masyhur bin Hasan alu Salman, Muhammad Abdillah Iman, Muhammad Al Amin Muhktar asy Syinqiti, Muhammad Al Hamud an Najdi, Muhammad al Maghrawi, Muhammad as Sabil, Muhammad bin Husain al Jurri, Muhammad bin Abdullah as Subail, Muhammad bin Abdurrahman al Khumais, Muhammad bin Ibrahim al Luhaidan, Muhammad bin Ibrahim Alu Syekh, dan Muhammad bin Musa Alu Nashr, dan Masih banyak lagi.

kritik dan saran kami harapkan melalui E-Mail kami; moh.ababil@yahoo.com

Sumber:
Idahram.Syekh, Ulama’ Sejagad Menggugat Salafi Wahabi,Pustaka Pasantren,2012


Syaikhul Islam Imam Ibnu Hajar al-Haitami Menjawab

Syaikhul Islam Imam Ibnu Hajar al-Haitami (907-974 H/1504-1567 M)
Merupakan seorang ulama mutaakhirin Mazhab Syafii yang memiliki pengaruh yang besar dalalam mazhab Syafii. Kitab-kitab beliau menjadi rujukan utama bagi ulama-ulama Mazhab Syafii semasa beliau hingga zaman sekarang. Semua kitab-kitab fiqk Mazhab Syafii yang di karang pada masa sesudah beliau tidak terlepas dari pendapat-pendapat beliau bersama dengan Imam Ramli

Salah satu kitab beliau yang banyak di jadikan rujukan adalah kitab Fatawa Kubra Fiqhiyyah yang terdiri dari 6 jilid berisi fatwa-fatwa beliau seputar masalah-masalah fiqih.



Jawaban Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami tentang menghidangkan makanan di hari kematian.
Salah satu yang pernah di tanyakan kepada beliau adalah hukum menyediakan makanan pada hari kematian yang pada masa beliau memang telah menjadi tradisi hingga sekarang. Bagaimanakah jawaban Syeikh Ibnu Hajar, mari kita buka kitab Fatawa Kubra Fiqhiyyah jilid 2 hal 32 Dar Fikr!!


"وسئل" نفع الله به عن العزاء الذي يفعلونه ببلاد اليمن قد يفعله أجنبي ويطلب الرجوع به على الورثة وقد يفعله وارث ويرجع به على بقية الورثة فما حكمه.؟
"فأجاب" بقوله جعل الطعام للمعزين إن حمل على معصية كنياحة حرم مطلقا وإن لم يكن فيه ذلك فإن فعله أجنبي من غير إذن الورثة جاز ولم يرجع به عليهم لأنه متبرع به وكذا إذا فعله بعض الورثة من غير إذن الباقين فلا رجوع له بشيء على بقية الورثة ويحرم على وارث أو وصي جعله من التركة إذا كان في الورثة غير مكلف أو محجور عليه بسفه وإذا أوصى الميت بفعله فإن كان على وجه حرام أو مكروه لم تنفذ وصيته وإلا نفذت من الثلث إن لم تجز الورثة الزائد عليه فيفعله الوصي حينئذ والله تعالى أعلم.

Artinya:
Ditanyakan guru kita (Imam Ibnu Hajar al-Haitami) - semoga ALLAH selalu memberikan manfaat dengan beliau- tentang masalah menyediakan makanan bagi orang ta’ziyah yang dilakukan di negeri Yaman, hal tersebut kadang dilakukan orang lain (bukan keluarga) namun semua pengeluaran (biaya) dimintakan kepada ahli waris dan kadang-kadang dikerjakan oleh salah seorang ahli waris dan semua biaya dimintakan kepada ahli waris yang lain. Maka bagaimanakah hukumnya (menyediakan makanan tersebut)?
(Guru kita Ibnu Hajar al-Haitami) menjawab:
Bila menyediakan makanan untuk orang ta’ziah tersebut mendorong kepada maksiat seperti niyahah maka hukumnya haram secara mutlaq (baik yang melakukannya pewaris atau orang lain, menggunakan harta mahjur 'alaih ataupun tidak) dan jika menyediakan makanan tersebut tidak mendorong kepada maksiat dan dilakukan oleh orang lain tanpa ada izin dari pewaris hukumnya boleh dan tidak dapat dimemintakan biaya kepada ahli waris karena ia melakukan tabarru' (kebaikan). Demikian juga di bolehkan jika dilakukan oleh sebagian ahli waris tanpa ada izin dari ahli waris lainnya maka tidak dapat dimintakan ganti biayanya kepada ahli waris lainnya.
Dan haram bagi pewaris atau orang yang menerima wasiat melakukan hal tersebut (menyedakan makanan bagi orang yang berta'ziah) dari harta peninggalan bila ada sebagian ahli waris yang belum mukallaf atau mahjur ‘alaih (orang yang tidak dibolehkan mempergunakan harta) karena boros (safih).
Bila si mayat mewasiatkannya (penyediaan makanan untuk orang yang berta'ziah) maka jika atas jalan haram atau makruh maka masiatnya tidak berlaku. Dan bila tidak (bukan atas jalan haram atau makhruh) maka wasiat tersebut berlaku hanya dari 1/3 harta si mayat jika tidak di izinkan oleh ahli waris untuk lebih dari kadar 1/3 harta mayat, maka pada saat demikian boleh dikerjakan oleh orang yang di wasiatkan. Wallhu a`lam

Maka dari Jawaban Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami dapat di simpulkan bahwa hukum menyediakan makanan pada hari kematian adalah;
1. Haram, apabila :
  • Pemberian makanan tersebut untuk mendorong orang-orang melakukan kemaksiatan seperti meratapi kematian. ( tetapi tidak pernah kita lihat di lapangan masyarakat yang menyediakan makanan dengan tujuan demikian)
  • Di ambil dari harta warisan sedangkan di antara ahli waris ada yang belum baligh atau mahjur `alaih (misalnya orang gila)
2. Boleh, apabila:
  • Menggunakan harta selain harta warisan
  • Menggunakan harta warisan atas dasar persetujuan semua ahli waris.
  • Di kerjakan oleh sebagian ahli waris dari hartanya sendiri atau harta warisan bagiannya.
3. Si mayat bila pernah mewasiatkan untuk menyediakan makanan pada hari kematiannya, maka wasiat tersebut hanya berlaku pada kasus boleh menghidangkan makanan sedangkan pada kasus haram atau makruh maka wasiat tersebut tidak berlaku.

Jawaban serupa juga pernah di jawab oleh ulama Makkah Syeikh Ismail Zain Wallahu A`lam bish Shawab.

kritik dan saran kami harapkan melalui E-Mail kami; moh.ababil@yahoo.com

Sumber : http://lbm.mudimesra.com/2013/08/jawaban-syaikhul-islam-ibnu-hajar-al.html

Perbedaan ASWAJA dengan SYI'AH

Apa perbedaan antara Ahlussunnah Waljama’ah dengan Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariyah
(Ja’fariyah Pendiri Syiah)…???


1.      Ahlussunnah         : Rukun Islam kita ada 5 (lima)
a)      Syahadatain
b)      As-Sholah
c)      As-Shoum
d)      Az-Zakah
e)      Al-Haj
Syiah                     : Rukun Islam Syiah juga ada 5 (lima) tapi berbeda:
a)      As-Sholah
b)      As-Shoum
c)      Az-Zakah
d)      Al-Haj
e)      Al wilayah

2.      Ahlussunnah         : Rukun Iman ada 6 (enam) :
a)      Iman kepada Allah
b)      Iman kepada Malaikat-malaikat Nya
c)      Iman kepada Kitab-kitab Nya
d)      Iman kepada Rasul Nya
e)      Iman kepada Yaumil Akhir / hari kiamat
f)       Iman kepada Qadar, baik-buruknya dari Allah.
Syiah                     : Rukun Iman Syiah ada 5 (lima)*
a)      At-Tauhid
b)      An Nubuwwah
c)      Al Imamah
d)      Al Adlu
e)      Al Ma’ad

3.      Ahlussunnah         : Dua kalimat syahadat
Syiah                     : Tiga kalimat syahadat, disamping Asyhadu an Laailaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, masih ditambah dengan menyebut dua belas imam-imam mereka.

4.      Ahlussunnah         : Percaya kepada imam-imam tidak termasuk rukun iman. Adapun jumlah imam-imam Ahlussunnah tidak terbatas. Selalu timbul imam-imam, sampai hari kiamat.
Karenanya membatasi imam-imam hanya dua belas (12) atau jumlah tertentu, tidak dibenarkan.
Syiah                     :  Percaya kepada dua belas imam-imam mereka, termasuk rukun iman. Karenanya orang-orang yang tidak beriman kepada dua belas imam-imam mereka (seperti orang-orang Sunni), maka menurut ajaran Syiah dianggap kafir dan akan masuk neraka.

5.      Ahlussunnah         : Khulafaurrosyidin yang diakui (sah) adalah :
a)      Abu Bakar
b)      Umar
c)      Utsman
d)      Ali Radhiallahu anhum
Syiah                     : Ketiga Khalifah (Abu Bakar, Umar, Utsman) tidak diakui oleh Syiah. Karena dianggap telah merampas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (padahal Imam Ali sendiri membai'at dan mengakui kekhalifahan mereka). 


6.      Ahlussunnah         : Khalifah (Imam) adalah manusia biasa, yang tidak mempunyai sifat Ma’shum.
Berarti mereka dapat berbuat salah/ dosa/ lupa. Karena sifat Ma’shum, hanya dimiliki oleh para Nabi.
Syiah                     : Para imam yang jumlahnya dua belas tersebut mempunyai sifat Ma'’hum, seperti para Nabi.

7.      Ahlussunnah         : Dilarang mencaci-maki para sahabat.
Syiah                     : Mencaci-maki para sahabat tidak apa-apa bahkan Syiah berkeyakinan, bahwa para sahabat setelah Rasulullah SAW wafat, mereka menjadi murtad dan tinggal beberapa orang saja. Alasannya karena para sahabat membai'at  Sayyidina Abu Bakar sebagai Khalifah.

8.      Ahlussunnah         :  Siti Aisyah istri Rasulullah sangat dihormati dan dicintai. Beliau adalah Ummul Mu’minin.
Syiah                     : Siti Aisyah dicaci-maki, difitnah, bahkan dikafirkan.

9.      Ahlussunnah         : Kitab-kitab hadits yang dipakai sandaran dan rujukan Ahlussunnah adalah Kutubussittah :
a)      Bukhari
b)      Muslim
c)      Abu Daud
d)      Turmudzi
e)      Ibnu Majah
f)       An Nasa’i
(kitab-kitab tersebut beredar dimana-mana dan dibaca oleh kaum Muslimin sedunia).
Syiah                     : Kitab-kitab Syiah ada empat :
a)      Al Kaafi
b)      Al Istibshor
c)      Man Laa Yah Dhuruhu Al Faqih
d)      Att Tahdziib
(Kitab-kitab tersebut tidak beredar, sebab kebohongannya takut diketahui oleh pengikut-pengikut Syiah). 

10.  Ahlussunnah         : Al-Qur'an tetap orisinil
Syiah                     : Al-Qur'an yang ada sekarang ini menurut pengakuan ulama Syiah tidak orisinil. Sudah dirubah oleh para sahabat (dikurangi dan ditambah).

11.  Ahlussunnah         : Surga diperuntukkan bagi orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul Nya.
Neraka diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak taat kepada Allah dan Rasul Nya.
Syiah                     : Surga diperuntukkan bagi orang-orang yang cinta kepada Imam Ali, walaupun orang tersebut tidak taat kepada Rasulullah.
Neraka diperuntukkan bagi orang-orang yang memusuhi Imam Ali, walaupun orang tersebut taat kepada Rasulullah.

12.  Ahlussunnah         : Aqidah Raj’Ah tidak ada dalam ajaran Ahlussunnah. Raj’ah adalah besok diakhir zaman sebelum kiamat, manusia akan hidup kembali. Dimana saat itu Ahlul Bait akan balas dendam kepada musuh-musuhnya.
Syiah                     : Raj’ah adalah salah satu aqidah Syiah. Dimana diceritakan : bahwa nanti diakhir zaman, Imam Mahdi akan keluar dari persembunyiannya. Kemudian dia pergi ke Madinah untuk membangunkan Rasulullah, Imam Ali, Siti Fatimah serta Ahlul Bait yang lain.
Setelah mereka semuanya bai'at kepadanya, diapun selanjutnya membangunkan Abu Bakar, Umar, Aisyah. Kemudian ketiga orang tersebut disiksa dan disalib, sampai mati seterusnya diulang-ulang sampai  ribuan kali. Sebagai balasan atas perbuatan jahat mereka kepada Ahlul Bait.
Keterangan           : Orang Syiah mempunyai Imam Mahdi sendiri. Berlainan dengan Imam Mahdinya Ahlussunnah, yang akan membawa keadilan dan kedamaian.

13.  Ahlussunnah         : Mut’ah (kawin kontrak), sama dengan perbuatan zina dan hukumnya haram.
Syiah                     : Mut’ah sangat dianjurkan dan hukumnya halal. Halalnya Mut’ah ini dipakai oleh golongan Syiah untuk mempengaruhi para pemuda agar masuk Syiah. Padahal haramnya Mut’ah juga berlaku di zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib.

14.  Ahlussunnah         : Khamer/ arak tidak suci.
Syiah                     : Khamer/ arak suci.

15.  Ahlussunnah         : Air yang telah dipakai istinja’ (cebok) dianggap tidak suci.
Syiah                     : Air yang telah dipakai istinja’ (cebok) dianggap suci dan mensucikan.

16.  Ahlussunnah         :  Diwaktu shalat meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri hukumnya sunnah.
Syiah                     : Diwaktu shalat meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri membatalkan shalat.
(jadi shalatnya bangsa Indonesia yang diajarkan Wali Songo oleh orang-orang Syiah dihukum tidak sah/ batal, sebab meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri).

17.  Ahlussunnah         : Mengucapkan Amin diakhir surat Al-Fatihah dalam shalat adalah sunnah.
Syiah                     : Mengucapkan Amin diakhir surat Al-Fatihah dalam shalat dianggap tidak sah/ batal shalatnya.
(Jadi shalatnya Muslimin di seluruh dunia dianggap tidak sah, karena mengucapkan Amin dalam shalatnya).

18.  Ahlussunnah         : Shalat jama’ diperbolehkan bagi orang yang bepergian dan bagi orang yang mempunyai udzur syar’i.
Syiah                     : Shalat jama’ diperbolehkan walaupun tanpa alasan apapun.

19.  Ahlussunnah         : Shalat Dhuha disunnahkan.
Syiah                     : Shalat Dhuha tidak dibenarkan.
(padahal semua Auliya’ dan salihin melakukan shalat Dhuha).

Demikian telah kami nukilkan perbedaan-perbedaan antara aqidah Ahlussunnah Waljamaah dan aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah).  Sengaja  kami  nukil  sedikit saja,  sebab apabila kami nukil
seluruhnya, maka akan memenuhi halaman-halaman buku ini.

moh.ababil@yahoo.com