KONSEP FITHRAH MANUSIA DAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF AL-QUR'AN By Ababil Krejengan



KONSEP FITHRAH MANUSIA DAN
PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Institut Ilmu Keislaman Zainul Hasan (INZAH) Genggong - Probolinggo


Moh. Ababil Rois
Ababilkrejengan@gmail.com
NPM : 2015.12.01.01. 5825.   SMT: IV/C. PAI


PENDAHULUAN
Manusia diciptakan oleh Allah Swt. dengan sempurna dan memiliki berbagai kelebihan dibandingkan makhluk-makhluk lain.[1] Manusia sebagai makhluk yang mulai, nenempati posisi yang istimewa yang diberikan Allah Swt. di muka bumi, “Sesungguhnya Kami (Allah) telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.[2] “Dan sesunggunya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan[3] Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.[4]  Hal ini karena manusia diciptakan dalam “Citra Allah” sehingga selayaknya manusia sebagai “Mahkota Ciptaan-Nya” atau sebagai “Khalifah di Bumi” yang mewakili pencipta dalam ciptaan-Nya.[5]
Didalam khazanah pemikiran pendidikan Islam, terutama karya-karya ilmiah berbahasa Arab, terdapat berbagai istilah yang dipergunakan oleh ulama’ dalam memberikan pengertian tentang “Pendidikan Islam” dan sekaligus diterapkan dalam konteks yang berbeda-beda. Pendidikan Islam itu, menurut  Langgulung yang dikutip oleh Drs. Muhaimin dalam bukunya Paradigma Pendidikan Islam setidak-tidaknya tercakup dalam delapan pengertian, yaitu ; al-tarbiyah al-diniyah (pendidikan keagamaan), ta’lim al-diin (pengajaran agama), al-ta’lim al-diniy (pengajaran keagamaan), al-ta’lim al-islamiy (pengajaran keislaman), tarbiyah al-muslimin (pendidikan orang-orang islam), al-tarbiyah fi al-islam (pendidikan dalam islam), al-tarbiyah ‘inda al-muslimin (pendidikan dikalangan orang-orang islam), dan al-tarbiyah al-islamiyah (pendidikan islami).[6]


PEMBAHASAN 


  1. Konsep Fitrah Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an.
Dalam dimensi pendidikan, keutamaannya dan keunggulannya manusia dibanding dengan makhluk Allah Swt. lainnya, terangkum dalam kata fithrah. Secara bahasa, kata fithrah berasal dari kata fathara فَطَرَ  yang arti sebenarnya adalah “membuka” atau “membelah”.  Adakalanya ditafsirkan sebagai “kembali keadaan normal” kehidupan manusia yang memenuhi kehidupan jasmani dan rohaninya secara seimbang. Tetapi gubahan dari kata ini, yaitu fithrah mengandung pengertian “yang mula-mula dicptakan Allah” yang tidak lain adalah “keadaan mula-mula”  atau “yang asal atau yang asli”.[7]
Dalam Al-Qur’an, kata ini berkaitan dengan soal ciptaan Allah Swt. baik alam maupun manusia. Kata ini terulang lima kali dalam Al-Qur’an, QS. 06:14, QS. 12:101, QS. 14:10, QS. 35:01, QS. 42:11. Ayat ke-79 surat al-An’am adalah ayat yang sangat dikenal, karena diucapkan dalam pembukaan shalat, sebelum membaca surah al-Fatihah yang ayatnya sebagai berikut :

إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”
QS. 06 : 79  
Kata fithrah dalam dalam konteks ayat ini (fathara) dikaitkan dengan pengertian  hanif, yang diterjemahkan secara bebas menjadi “cenderung kepada agama yang benar”. Istilah ini dipakai Al-Qur’an untuk melukiskan sikap kepercayaan Nabi Ibrahim a.s yang menolak menyembah berhala, binatang, bulan ataupun matahari, karena semuanya itu tidak patut disembah. Yang patut disembah hanyalah Dzat pencipta langit dan bumi, dan inilah agama yang benar.[8]

Dari pengertian tersebut, timbul suatu teori, bahwa agama umat manusia yang paling asli adalah menyembah kepada Allah Swt. Hal ini berkaitan dengan suatu kepercayaan kaum Muslim, berdasarkan keterangan Al-Qur’an, bahwa manusia segera setelah diciptakan membuat sebuah perjanjian atau ikatan primordial dengan Tuhan, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an ;
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ . أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ آبَاؤُنَا مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِنْ بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ . وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ وَلَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ .
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhan kalian?” Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.”(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan, "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (kekuasaan Tuhan), atau agar kalian tidak mengatakan, 'Sesungguhnya orang tua-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu'?” Dan demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu, agar mereka kembali (kepada kebenaran).
QS. 07 : 172-174
Allah Swt. menceritakan bahwa Dia telah mengeluarkan keturunan Bani Adam dari sulbi mereka untuk mengadakan persaksian atas diri mereka bahwa Allah adalah Tuhan dan Pemilik mereka, dan bahwa tidak ada Tuhan selain Dia. Sebagaimana Allah Swt. menjadikan hal tersebut di dalam fitrah dan pembawaan mereka.[9] Seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
QS. 30:30
Di dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim disebutkan melalui Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ - وَفِي رِوَايَةٍ : عَلَى هَذِهِ الْمِلَّةِ - فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ . وَيُنَصِّرَانِهِ . وَيُمَجِّسَانِهِ. كَمَا تُوْلَدُ الْبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ.  هَلْ تُحِسُّوْنَ فِيْـهَا مِنْ جَدْعَاءَ"
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci).  Riwayat lain menyebutkan: dalam keadaan memeluk agama ini (Islam), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi atau seorang Nasrani atau searang Majusi, seperti halnya dilahirkan hewan ternak yang utuh, apakah kalian merasakan (melihat) adanya cacat padanya?
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan melalui Iyad ibnu Himar bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى إِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ فَجَاءَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ
Allah Swt, berfirman, "Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (cenderung kepada agama yang hak), kemudian datanglah setan, lalu setan menyesatkan mereka dari agamanya dan mengharamkan kepada mereka apa-apa yang telah Aku halalkan kepada mereka”.[10]
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhan kalian?” Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.(QS. 07:172). Dengan bahasa ilmiah-empiris, menurut ajaran ini kecenderungan asli  atau dasar manusia adalah menyembah Tuhan Yang Satu. Ketika manusia mencari makna hidup, kecenderungan manusia adalah menemukan Tuhan Yang Maha Esa. Mereka mampu menemukan Tuhan, walaupun mungkin lingkungannya bias membelokkan pandangan kepada selain Tuhan ini.
وَكَأَيِّنْ مِنْ آيَةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يَمُرُّونَ عَلَيْهَا وَهُمْ عَنْهَا مُعْرِضُونَ . وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ .
Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedangkan mereka berpaling darinya. Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).
QS. 07:105-106
Tetapi sungguhpun demikian, kecenderungan fithrah manusia adalah kembali kepada Tuhan, sebagai wujud hakiki kecenderungan kepada kebenaran.[11]

  1. Manusia
Manusia sebagai makhluk Allah Swt. yang terdiri dari unsur materi dan imateri (Jasmani dan Rohani). Manusia diciptakan dari tanah yang kemudian pada kejadian selanjutnya terjadi pencampuran bahan laki-laki dan perempuan, lalu masuk ke dalam rahim. Didalam rahim terjadi proses kreatif, tahap demi tahap membentuk wujud manusia. Hal ini di jelaskan dalam Al-Qur’an :
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ طِينٍ .  ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ . ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu se­gumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu Hilang belulang itu Kami bungkus dengan daging."
QS. 23:12-14
Dzat yang bersifat lahir dan batin itu menentukan postur manusia sebagai makhluk yang paling sempurna.
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلَا
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
QS. 17 : 70
Allah Swt. menyebutkan tentang penghormatan-Nya kepada Bani Adam dan kemuliaan yang diberikan-Nya kepada mereka, bahwa Dia telah menciptakan mereka dalam bentuk yang paling baik dan paling sempurna di antara makhluk lainnya. Gambaran manusia sebagai makhluk sempurna dapat dilihat dari kemampuannya untuk menentukan tujuan hidup atau cita-citanya.[12]
Para ahli filsafat berbeda pendapat mengenai dalam mendefinisikan manusia. Perbedaan tersebut sebenarnya disebabkan oleh kenyataan kekuatan dan peran multidimensisional yang dimainkan manusia. Pada zaman modern pendefinisian manusia banyak dilakukan oleh mereka yang menekuni bidang psikologi.
Teori Psikoanalisis manyebut manusia sebagai homovolens (manusia berkeinginan). Menurut aliran ini manusia adalah makhluk yang memiliki perilaku hasil interaksi antara komponen biologis (id), psikologis (ed), dan sosial (super ego). Dalam diri manusia terdapat unsur animal (hewani), rasional (akali), dan moral (nilai).
Teori Behaviorisme menyebut manusia sebagai homo mechanicus (manusia mesin). Menurut aliran ini segala tingkah laku manusia terbentuk sebagai hasil proses pembelajaran terhadap lingkungannya tidak disebabkan aspek rasional emosional.
Teori Kognitif menyebut manusia sebagai homo sapiens (manusia berfikir). Menurut aliran ini manusia tidak lagi dipandang sebagai makhluk yang bereaksi secara pasif pada lingkungannya tapi sebagai makhluk yang selalu berusaha memahami lingkungannya.
Teori Humanisme menyebut manusia sebagai homo ludens (manusia bermain). Aliran ini mengecam teori psikoanalisis dan behaviorisme karena keduanya dianggap tidak menghormati manusia sebagai manusia. Menurut aliran ini (humanisme) menusia berperilaku untuk mempertahankan, meningkatkan, dan mengaktualisasikan diri.[13]

  1. Penyebutan Nama
Manusia telah berupaya memahami dirinya selama beribu-ribu tahun. Tetapi gambaran yang pasti dan meyakinkan tidak mampu mereka peroleh hanya mengandalkan daya nalarnya yang subyektif. Oleh karena itu mereka memerlukan pengetahuan dari pihak lain yang dapat memandang dirinya secara lebih utuh. Penyebutan nama manusia dalam Al-Qur’an tidak hanya satu macam. Berbagai istilah digunakan untuk menunjukkan berbagai aspek kehidupan manusia, di antaranya ;
  1. Dari aspek historis penciptaan manusia disebut dengan Bani Adam atau Dzurriyat Adam.
Hai anak Adam, pakailah pakaian kalian yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
QS. 07:31
  1. Dari aspek biologis manusia disebut dengan Basyar[14] yang mencerminkan sifat-sifat fisik, kimia, biologisnya.
فَقَالَ الْمَلأ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ مَا هَذَا إِلا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُرِيدُ أَنْ يَتَفَضَّلَ عَلَيْكُمْ
Maka pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya menjawab, "Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kalian, yang bermaksud menjadi seorang yang lebih tinggi daripada kalian.
QS. 23:24
  1. Dari aspek kecerdasan manusia disebut dengan Insan[15] atau al-Ins, yakni makhluk terbaik yang diberi akal sehingga mampu menyerap ilmu pengetahuan.
خَلَقَ الإنْسَانَ . عَلَّمَهُ الْبَيَانَ
“Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara”.
QS. 55:3-4
Kalimat Insan di ambil dari kata uns yang berarti jinak, harmonis, dan tampak. Kata ini digunakan Al-Qur’an untuk menunjukkan kepada manusia dengan seluruh totalitasnya; jiwa dan raga.[16]
  1. Dari aspek sosiologinya disebut Al-Nas, yang menunjukkan sifat yang berkelompok sesama jenisnya.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai manusia, sembahlah Tuhan kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.
QS. 02:21
  1. Dar aspek posisinya disebut “Abdun” (hamba), yang menunjukkan kedudukannya sebagai hamba Allah Swt. yang harus tunduk dan patuh kepada-Nya.
“Maka apakah mereka tidak melihat langit dan bumi yang ada di hadapan dan di belakang mereka? Jika Kami menghendaki, niscaya Kami benamkan mereka di bumi atau Kami jatuhkan kepada mereka gumpalan dari langit. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Tuhan) bagi setiap hamba (Abdun) yang kembali (kepada-Nya)”.
QS. 34:09 
 
  1. Aspek Historis Penciptaan
Al-Qur’an tidak merinci secara kronologis penciptaan manusia menyangkut waktu dan tempatnya. Namun al-Qur’an menjelaskan jawaban yang sangat penting. Dari titik manakah  kehidupan itu bermula. Ayat-ayat menegaskan bahwa asal-usul manusia (bersifat) Air. Hal ini dapat dimulai dari pembentukan alam semesta.
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلا يُؤْمِنُونَ
“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman.?”
QS. 21: 30
Data modern menunjukkan bahwa wujud hidup yang paling tua diperkirakan pada dunia tumbuh-tumbuhan. Ganggang telah ditemukan pada periode pra-Cambria, yaitu saat dikenalinya daratan yang paling tua. Organisme yang termasuk dalam dunia hewan diperkirakan muncul sedikit lebih kemudian, mereka muncul dari laut. Tantang asal-usul kehidupan hewan, Allah Swt. berfirman :
وَاللَّهُ خَلَقَ كُلَّ دَابَّةٍ مِنْ مَاءٍ فَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى بَطْنِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى رِجْلَيْنِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى أَرْبَعٍ يَخْلُقُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian dengan dua kaki, sedangkan sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.
QS. 24:45
{فَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى بَطْنِهِ} maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya. seperti ular dan hewan-hewan lainnya yang bentuknya serupa. {وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى رِجْلَيْنِ} dan sebagian berjalan dengan dua kaki. seperti manusia, dan burung.{وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى أَرْبَعٍ} sedangkan sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. seperti hewan ternak dan hewan-hewan lainnya. Karena itu disebutkan dalam firman selanjutnya: {يَخْلُقُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ} Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. dengan kekuasaan-Nya, karena sesungguhnya apa yang dikehendaki-Nya pasti ada, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya pasti tiada. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: {إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ}sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.[17] (Qs. An-Nur: 45)
Kehadiran manusia sebagai makhluk dibumi ditegaskan dalam ayat :
وَاللَّهُ أَنْبَتَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ نَبَاتًا . ثُمَّ يُعِيدُكُمْ فِيهَا وَيُخْرِجُكُمْ إِخْرَاجًا
Dan Allah menciptakan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya, kemudian Dia mengembalikan kamu ke dalam tanah dan mengeluarkan kamu (darinya pada hari kiamat) dengan sebenar-benarnya.
QS. 71:17-18
Manusia adalah makhluk bumi. Manusia dibentuk dari komponen-komponen yang dikandung didalam tanah. Gambaran ini dengan sangat jelas diuraikan dalam berbagai ayat yang menunjukkan komponen-komponen pembentuk tersebut dengan berbagai nama :
Ayat-ayat lain menyebut manusia dibentuk dari :
  1. Turaab, yaitu tanah gemuk sebagaimana disebut dalam ayat :
قَالَ لَهُ صَاحِبُهُ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ سَوَّاكَ رَجُلا
Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya sedang dia berca­kap-cakap dengannya, "Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempur­na.?
QS. 18 : 37
  1. Tiin, yaitu tanah lempung sebagaimana ayat :
الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الإنْسَانِ مِنْ طِينٍ
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah”. Maksudnya, Dia menciptakan bapak manusia Adam dari tanah.
QS. 32 : 7
  1. Tiinul Laazib, yaitu tanah lempung yang pekat sebagaimana ayat :
فَاسْتَفْتِهِمْ أَهُمْ أَشَدُّ خَلْقًا أَمْ مَنْ خَلَقْنَا إِنَّا خَلَقْنَاهُمْ مِنْ طِينٍ لازِبٍ
“Maka tanyakanlah kepada mereka (musyrik Mekah), "Apakah mereka yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa yang telah Kami ciptakan itu?” Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat.”[18]
QS. 37 : 11
  1. Salsalun min Hamain masnun, (tanah lempung dari lumpur yang dicetak diberi bentuk) sebagaimana disebut dalam ayat :
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk (hamain masnun)”.[19]
QS.15:26
Hamain Masnun adalah lumpur hitam yang dicetak atau diberi bentuk dan rupa. Shal-shal tersebut diserupakan dengan tembikar fakkhar atau gerabah yang membentuknya melalui proses pembakaran.[20]
  1. Salaalatun min tiin, yaitu dari sari pati lempung. Selaalat berarti sesuatu yang disarikan dari sesuatu yang lain.
  2. Air, yang dianggap sebagai asal-usul seluruh kehidupan sebagaimana disebut dalam ayat :
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan musaharah dan adalah Tuhanmu Mahakuasa”.[21]
QS. 25:54
  1. Konsep Pendidikan Islam Dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an mengintroduksikan dirinya sebagai “Pemberi petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus” QS. 17:19. Petunjuk-petunjuknya bertujuan memberi kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok, dan karena itu ditemukan petunjuk-petunjuk bagi manusia dalam kedua bentuk tersebut.  Rasulullah Saw. yang dalam hal ini bertindak sebagai penerima Al-Qur’an, bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk tersebut, menyucikan dan mengajarkan manusia QS. 67:02. Menyucikan dapat diidentikkan dengan mendidik, sedangkan mengajar tidak lain kecuali mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam metafisika secara fisika. Tujuan yang ingin dicapai dengan pembacaan, penyucian, dan pengajaran tersebut adalah mengabdi kepada Allah Swt. sejalan dengan  tujuan penciptaan manusia yang ditegaskan oleh Al-Qur’an dalam surah QS. 51:56  “Aku (Allah) tidak menciptakan manusia dan jin kecuali untuk menjadikan tujuan akhir atau hasil segala aktivitasnya sebagai pengabdian kepadaku”.[22]
Aktivitas yang dimaksud di atas tersimpul dalam kandungan ayat QS. 02:30 “Sesungguhnya Aku (Allah) hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” dan surat QS. 11:61 “dan Dia (Allah) yang mencitakan kamu dari bumi (tanah) dan menugaskan kamu untuk memakmurkan”. Artinya, manusia yang dijadikan khalifah itu bertugas memakmurkan atau membangun bumi ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan oleh yang menugaskan, Yaitu Allah Swt.[23]
            Atas dasar ini, kita dapat berkata bahwa tujuan pendidikan Al-Qur’an adalah “membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah Swt. dan khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah.” Dengan kata lain “untuk bertakwa kepa-Nya”.
Dari uraian sebelumnya sudah sijelaskan tentang konsep fithrah manusia dalam Al-Qur’an. Dari uraian tersebut, paling tidak ada dua implikasi terpenting dalam hubungannya dengan pendidikan Islam, yaitu ;
  1. Karena manusia adalah makhluk yang merupakan resultan dari dua komponen (materi dan immateri), maka kosepsi itu menghendaki proses pembinaan yang mengacu kearah realisasi dan pengembangannya.
Hal ini berarti bahwa sistem pendidikan Islam harus dibangun di atas konsep kesatuan antara pendidikan qalbiyah dan aqliyah sehingga mampu menghasilkan manusia muslim yang cerdas secara intelektual dan terpuji secara moral.
  1. Al-Qur’an menjelaskan bahwa fungsi penciptaan manusia di alam ini adalah sebagai khalifah di bumi dan abd. Dalam kontek ini, maka pendidikan Islam harus mampu menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi diri, masyarakat dan lingkungannya sebagai realisasi fungsi dan tujuan penciptaannya.[24]

PENUTUP
Dalam dimensi pendidikan, keutamaannya dan keunggulannya manusia dibanding dengan makhluk Allah Swt. lainnya, terangkum dalam kata fithrah. Allah Swt. menceritakan bahwa Dia telah mengeluarkan keturunan Bani Adam dari sulbi mereka untuk mengadakan persaksian atas diri mereka bahwa Allah adalah Tuhan dan Pemilik mereka, dan bahwa tidak ada Tuhan selain Dia. Dan bahwa setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci).
Allah telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu se­gumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu Hilang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Begitupun para ahli filosof  menyebut manusia banyak teori, Teori Psikoanalisis manyebut manusia sebagai homovolens (manusia berkeinginan). Teori Behaviorisme menyebut manusia sebagai homo mechanicus (manusia mesin). Teori Kognitif menyebut manusia sebagai homo sapiens (manusia berfikir). Teori Humanisme menyebut manusia sebagai homo ludens (manusia bermain).
Dari aspek historis penciptaan manusia disebut dengan Bani Adam atau Dzurriyat Adam. Dari aspek biologis manusia disebut dengan Basyar yang mencerminkan sifat-sifat fisik, kimia, biologisnya. Dari aspek kecerdasan manusia disebut dengan Insan atau al-Ins, yakni makhluk terbaik yang diberi akal sehingga mampu menyerap ilmu pengetahuan. Dari aspek sosiologinya disebut Al-Nas, yang menunjukkan sifat yang berkelompok sesama jenisnya. Dar aspek posisinya disebut “Abdun” (hamba), yang menunjukkan kedudukannya sebagai hamba Allah Swt. yang harus tunduk dan patuh kepada-Nya. Begitupun dalam hal penyebutan manusia al-Qur’an Turaab,  Tiin, Tiinul Laazib, Salsalun min Hamain masnun,  Salaalatun min tiin, Air dan sebagainya.
Konsep pendidikan dalam perspektif Al-Qur’an adalah “membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah Swt. dan khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah”.  Dalam hubungannya dengan pendidikan Islam yaitu, Karena manusia adalah makhluk yang merupakan resultan dari dua komponen (materi dan immateri), maka kosepsi itu menghendaki proses pembinaan yang mengacu kearah realisasi dan pengembangannya. Dan juga Al-Qur’an menjelaskan bahwa fungsi penciptaan manusia di alam ini adalah sebagai khalifah di bumi dan abd.


DAFTAR PUSTAKA
Al  Qur’an  Al Karim
Al Dimasyqiy, Abi al-Fida’ Isma’il bin Umar bin Katsir. 2006. Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim/Tafsir Ibnu Katsir. Libanon : Dar Ibnu Hazm. Cet- 1.
Arif, Arifuddin. 2008. Pengantar Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Kultura GP Press. Cet-1.
Mannan, Abdul dan Ahmad Syifa’ul Qulub. 2010. Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum. Sidoarjo : Penerbit Laros. Cet-1.
Muchtar, Heri Jauhari, 2008. Fikih Pendidikan. Bandung : Remaja Rosda Karya. Cet-2.
Muhaimin, 2008. Paradigma Pendidikan Islam : Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung : Remaja Rosda Karya. Cet-4.
Rafiqi, Yusep. 2013. Nabi Adam dan Peradaban Nusantara: Berdasarkan Fakta-fakta Sains dan Ayat-ayat Al-Qur’an. Jakarta : Zahira. Cet-1.
Rahardjo,  M. Dawam. 2002. Ensiklopedi Al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci. Jakarta : Penerbit Paramadina. Cet-2.
Shihab, M. Quraish. 2006. Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung : Mizan. Cet-19.
______,  2005. Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Tematik Atas Berbagai Persoalan Umat. Bandung : Mizan. Cet-16.

Link : http://www.moh-ababil.blogspot.com 



[1] Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, Cet-2, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2008), hal. 7
[2] QS. 95:4
[3] Maksudnya:  Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan di daratan dan di lautan untuk memperoleh penghidupan.
[4] QS. 17 : 70
[5] Arifuddin Arif, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, Cet-1, (Jakarta : Kultura GP Press, 2008), hal. 10
[6] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam : Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Cet-4, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2008), hal. 36
[7] M. Dawam Rahardjo,  Ensiklopedi Al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Cet-2, (Jakarta : Penerbit Paramadina, 2002), hal. 39-40
[8] M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an…hal. 41
[9] Abi al-Fida’ Isma’il bin Umar bin Katsir al-Dimasyqiy, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim/Tafsir Ibnu Katsir, Cet- 1, (Libanon : Dar Ibnu Hazm, 2006), Hal. 797
[10] Abi al-Fida’ Isma’il bin Umar bin Katsir al-Dimasyqiy, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim...hal. 797
[11]  M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an…hal. 41
[12] Abdul Mannan dan Ahmad Syifa’ul Qulub, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum, Cet-1, (Sidoarjo : Penerbit Laros, 2010), hal. 59
[13] Abdul Mannan dan Ahmad Syifa’ul Qulub, Pendidikan Agama Islam...hal. 60-61
[14] Kalimat  Basyar  diambil dari kata yang berarti “Penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Demikian juga, kalimat Basyar dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia yang menjadikannya mampu memikul tanggung jawab .  M. Qurasih Shihab, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Tematik Atas Berbagai Persoalan Umat, Cet-16, (Bandung : Mizan, 2005), hal. 279
[15] Banyak opini yang mengatakan bahwa manusia dalam Bahasa Indonesia adalah serapan dari kata Bahasa Arab yang berarti Nasiya (lupa) atau Nasiya-Yanisu (berguncang). Serapan ini tidak tepat apabila dilihat dari sudut pandang Al-Qur’an.   M. Qurasih Shihab, Wawasan Al-Qur’an… hal. 279
[16] Yusep Rafiqi,  Nabi Adam dan Peradaban Nusantara: Berdasarkan Fakta-fakta Sains dan Ayat-ayat Al-Qur’an, Cet-1, (Jakarta : Zahira, 2013), hal. 111
[17] Abi al-Fida’ Isma’il bin Umar bin Katsir al-Dimasyqiy, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim...hal. 1341
[18] Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, dan Ad-Dahhak mengatakan, bahwa lazib ialah tanah liat yang bermutu baik yang sebagiannya dapat disatukan dengan sebagian yang lain. (Tafsir Ibnu Katsir).
[19] Ibnu Abbas, Mujahid, dan Qatadah mengatakan bahwa makna yang dimaksud dengan salsal dalam ayat ini ialah tanah liat kering. Makna lahiriah ayat sama dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar, dan Dia menciptakan jin dari nyala api. (55: 14-15). Dari Mujahid, disebutkan pula bahwa salsal artinya tanah yang berbau busuk. Tetapi tafsir ayat dengan ayat yang lain adalah lebih utama. (Tafsir Ibnu Katsir).
[20] Yusep Rafiqi, Nabi Adam dan Peradaban Nusantarahal. 102
[21] Artinya, Dia menciptakan manusia dari nutfah yang lemah, lalu Dia sempurnakan dan Dia rapikan kejadiannya hingga mempunyai bentuk yang sempurna sebagai manusia, baik laki-laki ataupun perempuan menurut apa yang dikehendaki-Nya.
[22] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Cet-19, (Bandung : Mizan, 2006), hal. 172
[23] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an... hal. 172
[24] Arifuddin Arif, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam... hal. 20-21