Home » » ASBÂB AL-NUZÛL (Ababil Krejengan)

ASBÂB AL-NUZÛL (Ababil Krejengan)


ASBÂB AL-NUZÛL

Al-Qur’ân adalah sumber referensi paling pertama dan utama dalam ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Saw ke dunia. Allâh Swt menurunkannya untuk disampaikan kepada umat beragama Islam, salah satu fungsinya adalah untuk menjadi acuan moral secara universal bagi umat manusia, untuk memecahkan persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat (waktu turunnya ayat/surah) baik berupa pertanyaan masa lalu (umat/kejadian terdahulu), pada saat itu (kejadian atau keinginan yang dialami oleh Nabi saw dan para sahabat) atau pada masa yang akan mendatang, yangmana al-Qur’ân ini merupakan respon dari Allâh Swt untuk menjawab semua polemik yang terjadi.
A.    Definisi Asbâb al-Nuzûl
Asbâb al-Nuzûl atau yang lebih sering kita dengar dengan kata Asbâbun Nuzûl adalah gabungan dari dua kata (idhafah) yakni, “Asbâb” dan ”al-Nuzûl”. Term Asbâb terambil dari kata “سبَبٌ plural-nya أسبابٌ  yang berarti “Sebab/latar belakang terjadinya peristiwa” sedangkan kata “Nuzûl/نُزُولٌ” plural dari akar kata نَزَلَ  secara sederhana berarti turun.[1] Kata Asbâb al-Nuzûl jika digabungkan dengan kata al-Qur’ân maka berarti “Sebab-sebab atau latar belakang turunnya (ayat/surah) al-Qur’ân .”[2]
Kata Asbâb (اسباب) dalam al-Qur’ân  terulang sebanyak empat kali yakni QS.02:166, 38:10, 40:36 dan 40:37. kata Nuzûl (نَزل ج  نُزول) terulang sebanyak empat kali pula yakni, QS. 17:105, 27:193, 37:177 dan 57:16.[3] Varian keseluruhan terulang sebanyak 293 kali.
Banyak para ulama’ yang telah menulis kitab khusus yang membahas tentang kajian Asbâb al-Nuzûl, Imâm Jalâl al-Dîn al-Suyûthi salah satu di antara ulama’ tersebut, menyebutkan bahwa “Pertama kali yang menyusun kitab Asbâb al-Nuzûl adalah Imâm Ali bin Abd Allâh al-Madâni (w.234)”[4] salah satu guru Imâm al-Bukhâri dari Basrah.[5] Kemudian Imâm Ali bin Ahmad al-Wahidi al-Naisaburi.[6]
Secara istilah kata Asbâb al-Nuzûl para ulama’ berbeda pendapat tentang makna tersebut, antara lain yang dikemukakan oleh Syekh Dr. Muhammad Ali al-Shabuni[7] ;
“Asbâb al-Nuzûl adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad Saw atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama Islam."[8]

Syekh Dr. Subhi  al-Shalih medefinisikan Asbâb al-Nuzûl sebagai berikut ;
“Asbâb al-Nuzûl adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya sebuah ayat atau beberapa ayat, atau sesuatu pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan yang diturunkan pada waktu terjadinya suatu peristiwa.”[9]
Dari definisi-definisi di atas walau sedikit berbeda dapat disimpulkan bahwa Asbâb al-Nuzûl adalah sebab-sebab turunnya beberapa ayat atau surat sekaligus yang menjelaskan terjadinya sesuatu peristiwa pada waktu itu dalam rangka untuk menjawab, menjelaskan dan menjelaskan peristiwa yang terjadi.
B.     Sejarah Perkembangan Ilmu Asbâb al-Nuzûl
Bassam al-Jamal membagi sejarah perkembangan ilmu Asbâb al-Nuzûl hingga kemapanannya ke dalam tiga periode :
1.        Dimulai dari abad pertama hingga pertengahan abad kedua hijriyah.
Perhatian yang serius terhadap ilmu Asbâb al-Nuzûl tampak pada periode tabi’in. Pada masa ini, belum dirumuskan disiplin ilmu Asbâb al-Nuzûl yang tersusun secara sistematis. Pada masa Nabi Saw, kebanyakan informasi Asbâb al-Nuzûl yang dicari adalah seputar sirah dan maghazi (signifikan) Nabi Saw.
2.        Dimulai dari paruh terakhir abad kedua hingga abad keempat hijriyah.
Sejalan dengan dimulainya kodifikasi tradisi lisan pada periode ini, riwayat-riwayat Asbâb al-Nuzûl juga mendapat perhatian tinggi dari ulama’ dan di anggap sebagai salah satu pengantar utama untuk memahami al-Qur’ân.
3.        Dimulai dari abad kelima hijriyah.
Pada masa stagnasi keilmuan ini, ilmu Asbâb al-Nuzûl mulai dibahas secara tersendiri oleh para ulama’.[10]

Seiring berjalannya waktu, perhatian ulama’ mengenai cabang ilmu Asbâb al-Nuzûl terus meningkat dan berkembanya secara sistematis, karya-karya mengenai Sabab al-Nuzûl senantiasa bermunculan. Khâlid bin Sulaimân al-Mazini menyebutkan lebih kurang dari 25 karya yang membahas ilmu Asbâb al-Nuzûl secara tersendiri, baik dari ulama’ klasik maupun ulama’ kontemporer. Hal ini menunjukkan bahwa tema Asbâb al-Nuzûl masih terbuka untuk dikaji dan diempurnakan karena kebutuhan akan Tafsîr al-Qur’ân yang semakin kompleks pembahasannya. Karya-karya tersebut adalah ;
1.      Tafsîr Li Asbâb al-Nuzûl karya Imâm Maimûn bin Mahrân (w.117 H)
2.      Asbâb al-Nuzûl karya Imâm ‘Alî bin al-Madâni (w. 234 H)
3.  Al-Qasas Wal Asbâb Allati Nazala Min Ajliha al-Qur’ân karya Imâm al-Qâdhi Abdurrahmân bin Muhammad (w.402 H)
4.      Asbâb al-Nuzûl karya Imâm Ali bin Ahmad al-Wahhidi (w. 468 H)
5.      Asbâb al-Nuzûl wa Qasas al-Furqaniyyah karya Imâm Muhammad bin As’ad al-Iraqi (w.567 H)
6.  Al-Asbâb wa al-Nuzûl ala Madzâhib al-‘Ali al-Rasul karya Imâm Abu Ja’far Muhammad bin Ali al-Syi’I (w. 588 H).
7.      Asbâb al-Nuzûl karya Imâm Ibnu Jauzi (w.597 H)
8.      Asbâb al-Nuzûl al-‘Ali karya Imâm al-Artâqi (w. 619 H)
9.      ‘Ajâib al-Nuqûl Fi Asbâb al-Nuzûl karya Imâm Ibrahîm bin ‘Umar al-Ja’bari (w. 732 H)
10.  Sabâb al-Nuzûl fi Tabligh al-Rasûl karya Imâm al-Fashîh (w. 755 H)
11.  Risalah fi Asbâb al-Nuzûl karya Imâm Hasan bin Muhammad al-Hamzâni (w. 786 H)
12.  Al-‘Ujâb Fi Bayân al-Asbâb karya Imâm Ibnu Hajar al-Asqalâni (w. 825)
13.  Madâd al-Rahmân Fi Asbâb al-Nuzûl al-Qur’ân karya Imâm Abdurrahmân bin Ali al-Tamimî (w. 876 H)
14.  Lubâb al-Nuqûl Fi Asbâb al-Nuzûl karya Imâm Jalâl al-Dîn al-Suyûthi (w. 911 H)
15.  Irsyâd al-Rahmân Li Asbâb al-Nuzûl Wa Nasakh al-Mutasyâbih Wa Tajwîd al-Qur’ân karya karya Imâm ‘Athiyyatillah bin ‘Athiyah al-Syafi’I (w. 1190 H)
16.  Asbâb al-Tanzîl karya Imâm Ahmad bin Ali al-Hanafi
17.  Asbâb al-Nuzûl karya Imâm Abdul Jalil al-Naqsabandi
18.  Asbâb al-Nuzûl ‘an Shâhâbah wa Mufassirîn karya Imâm Abdul Fattah al-Qadhi
19.  Al-Shâhih al-Musnad Min Asbâb al-Nuzûl karya Muqbil al-Wadi’i
20.  Asbâb al-Nuzûl al-Qur’ân karya Dr. Ghazi ‘Inayah
21.  Asbâb al-Nuzûl al-Qur’ân karya Dr. Hammad Abdul Khaliq
22.  Asbâb al-Nuzûl wa Ataruhâ fi Bayân al-Nushûsh karya Dr. Imâduddin Muhammad al-Rasyîd
23.  Tashîl al-Wushûl ila Ma’rifah Asbâb al-Nuzûl karya Khâlid ‘Abd al-Rahman
24.  Asbâb al-Nuzûl wa Ataruha fi al-Tafsîr karya Dr. ‘Isâm al-Hamidan
25.  Asbâb al-Nuzûl karya Dr. Jumu’ah Sahl.[11]

C.     Cara Mengetahui Riwayat Asbâb al-Nuzûl
Tidak ada cara untuk mengetahui Asbâbun nuzul kecuali melalui riwayat yang Shahîh dari Nabi dan para sahabat yang menyaksikan turunnya ayat-ayat al-Qur’ân dan mengetahui peristiwa yang terjadi atau pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad SAW yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut. Imâm Al-Wahidi al-Naisaburi  menyatakan dalam kitabnya Asbâb al-Nuzûl sebagai berikut ;
لاَيَحِلُّ الْقَوْلُ فِي أسْبَابِ نُزُولِ الْكِتَابِ إلاّ بِالرِّوَايَةِ وَالسِّمَاعِ مِمَّنْ شَاهَدُواالتَّنْزِيْلِ . وَوَقَفُوا عَلَى الْأَسْبابِ وَبَحَثُوا عَنْ عِلْمِهَا وَجَدُّوْا فِى الطَّلِبِ .
Tidak boleh berpendapat mengenai asabun nuzul kecuali dengan berdasarkan kepada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertiannya, serta bersungguh-sugguh dalam menelitinya/membahasnya.[12]

Riwayat seorang sahabat tentang Asbâb al-Nuzûl dapat diterima sekalipun tidak dikuatkan oleh riwayat lain, karena pernyataan seorang sahabat tentang sesuatu yang tidak masuk lapangan ijtihad dinilai sebagai riwayat yang marfû’ kepada Nabi. Telah disepakati oleh para ulama bahwa para sahabat tidak mungkin berbohong atas nama Nabi Muhammad SAW. Mereka semua mengetahui dan takut dengan ancaman Rasulullâh Saw sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imâm Ahmad dari Sahabat ‘Abd Allâh bin al-‘Abbas r.a :
اتَّقُ الحَدِيْثَ عَنِّي إلاَّمَاعَلِمْتُمْ . فَإنَّهُ مَنْ كَذّبَ عَليَّ مُتَعَمِّدًا فَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ . وَمَن كَذبَ فِي الْقُرآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأ مَقْعَدَهُ مِن النَّارِ .
Berhati-hatilah dalam meriwayatkan hadits dariku, kecuali yang kalian benar-benar mengetahuinya. Sebab barangsiapa yang mendustakan atas diriku dengan sengaja, maka hendaklah ia besiap-siap menempati neraka. Dan barangsiapa berdusta atas Al-Qur’ân tanpa ilmu, meka hendaklah ia bersiap-siap juga menempati neraka.” (HR. Imâm Ahmad dari Ibnu ‘Abbâs).[13]

Ulama’ salaf memilih untuk menjauh dari berpendapat atau berbicara tentang Asbâb al-Nuzûl, karena mereka khawatir terjerusmus ke dalam kesalahan untuk berbicara tentang Asbâb al-Nuzûl. Muhammad bin Sirrin pernah bertanya kepada ‘Ubaidah tentang ayat al-Qur’ân. Kemudian ‘Ubaidah berkata kepadanya ; “Takutlah kamu kepada Allâh Swt dan berkatalah yang benar.”[14]
Dari kalangan sahabat, orang yang paling mengusai Asbâb al-Nuzûl adalah ‘Abd Allâh bin Mas’ud r.a. Beliau pernah berkata : “Demi Allâh, tiada tuhan selain Dia. Tidaklah sebuah surah dari al-Qur’ân itu turun melainkan saya mengetahui dimana turunnya. Dan tidaklah sebuah ayat itu turun melainkan saya tahu pada siapa diturunkan.”[15]

D.    Ragam Asbâb al-Nuzûl
Pengungkpan sebuah riwayat dalam menceritakan Asbâb al-Nuzûl juga dipandang penting oleh para ulama’. Tidak sembarang ungkapan mengenai Asbâb al-Nuzûl bisa diterima begitu saja. Ada dua metode pengungkapan yang dirumuskan oleh ulama’, yakni ;
1.         Ungkapan : “Sebab turunnya ayat ini adalah begini (سباب النزول هذه الآية كذا).” Ungkapan semacam ini merupakan ungkapan yang jelas dalam menjelaskan Asbâb al-Nuzûl, tidak diarahkan kepada makna lainnya.
2.         Ungkapan : “ayat ini diturunkan dalam masalah ini (نُزلت هذه الآية في كذا).” Ungkapan semacam ini tidak menjelaskan tentang sebab, bahkan bias di arahkan kepada sebab dan lainnya, seperti menjelaskan makna atau kandungan hokum dari sebuah ayat. Yang menentukan arah dari ungkapan seperti ini adalah Qarinah (tanda) atau Tarjih (pengunggulan).[16]
3.         Asbâb al-Nuzûl dipahami secara pasti dari konteksnya. Misalnya Rasulullâh ditanya oleh seseorang tentang suatu masalah, kemudian beliau diberi wahyu oleh Allâh dan  selanjutnya menjawab pertanyaan itu dengan ayat yang baru diterimanya tersebut. Di samping itu, adakalanya sahabat atau tabi’in menerangkan suatu peristiwa yang pernah terjadi di zaman Rasulullâh dan menjelaskan hukumnya dengan mengemukakan ayat yang menyangkut dengan peristiwa itu.
4.         Asbâb al-Nuzûl tidak disebutkan dengan suatu ungkapan sebab secara tegas, tidak dengan mendatangkan huruf ف  yang menunjukkan sebab dan tidak pula berupa jawaban yang dibangun atas dasar pertanyaan kepada Nabi. Akan tetapi ungkapan yang digunakan adalah(نُزلت هذه الآية في كذا)  diturunkan ayat ini sehubungan dengan masalah ini). Ungkapan seperti ini secara defenitif tidak menunjukkan sebab, tetapi mengandung makna sebab dan makna lainnya, yaitu tentang hukum kasus atau persoalan yang sedang dihadapi.[17] Diungkapkan Ibnu Taimiyyah bahwa ungkapan terakhir itu terkadang berkonotasi sebab turunnya ayat dan boleh jadi hanya menyatakan kandungan ayat, walaupun tidak ada Asbâb al-Nuzûl nya.

E.     Urgensi dan Kegunaan Asbâb al-Nuzûl
“Asbâb al-Nuzûl haruslah berdasarkan riwayat yang shahih. Tidak ada peranan akal dalam menetapkannya.”  Imâm Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahman al-Suyûthi mengatakan bahwa adanya sebgian kalangan ulama’ yang berpendapat bahwa mempelajari Asbâb al-Nuzûl merupakan hal yang sia-sia (tidak adanya manfaat) dalam memahami dan mempelajari al-Qur’ân, dengan alas an “Ini sama halnya dengan masalah sejarah” dan “membatasi pesan-pesannya pada ruang dan waktu.”  Tetapi al-Suyûthi mengkritik pendapat ini tidaklah benar adanya, justeru kita akan mendapatkan banyak faidah didalamnya.[18]
 Di antara urgensi Asbâb al-Nuzûl dalam memahami al-Qur’ân, sebagai berikut :
1.         Mengetahui hikmah atau alasan dari urutannya suatu syari’at atau hukum.
2.         Takhsish (penghususan) suatu hukum, bagi orang-orang yang berpendapat bahwasannya “العبرَة بخصُوصِ السببِ” yaitu pelajaran atau teladan itu berdasarkan pada kekhususan suatu sebab.
3.         Kadangkala lafadz suatu ayat itu umum, tetapi ada dalil lain yang mengkhususkan ayat tadi. Jika sebab turunnya ayat ini telah diketahui, maka kekhususannya hanya terbatas pada selain bentuk keumuman lafadznya. Sehingga keumuman suatu lafadz telah tidak lagi dijadikan pedoman karena ada sebab yang khusus untuk itu.[19]
4.     Kita bisa memahami makna suatu ayat secara lebih mendalam, dan hilangnya kemusykilan (keragu-raguan) yang selama ini masih terbenak difikiran kita.[20]
5.         Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat, serta untuk memantapkan wahyu ke dalam hati orang yang mendengarnya. Sebab, hubungan sebab-akibat, hukum, peristiwa, pelaku dan tempat merupakan suatu jalinan yang bisa mengikat hati.

Taufiq Adnan Amal dan Syamsul Rizal Panggabean sebagaimana dikutip oleh Rosihon Anwar menyatakan bahwa, Pertama, pemahaman itu memudahkan kita mengidentifikasi gejala-gejala moral dan social pada masyarakat Arab waktu itu, sikap al-Qur’ân terhadapnya, dan cara al-Qur’ân memodifikasi atau mentransformasi gejala itu hingga sejalan dengan pandangan al-Qur’ân. Kedua, kesemuanya ini dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam dalam megidentifikasi dan menangani problem-problem yang mereka hadapi. Ketiga, pemahaman tentang konteks kesejarahan pra-Qur’an dan pada masa al-Qur’ân dapat menghindarkan kita dari praktik-praktik pemaksaan pra-konsep dalam penafsiran.[21]
Terlepas dari hal diatas, Asbâb al-Nuzûl dapat merupakan jawaban atas pertanyaan dan dapat juga berupa komentar atau petunjuk hukum atas satu atau lebih kejadian, baik berupa komentar itu hadir sesaat, sebelum maupun sesudah turunnya ayat atau surah.


Muhammad Ababil
02 Februari 2019



[1] Jika dihubungkan dengan al-Qur’ân (Nuzul al-Qur’ân), kata “Turun”  harus difahami secara Majâzî (metafor), bukan makna hakikî, yaitu turun disini di artikan dengan الإظهار (menampakkan),  الإعلام (memberitahukan) atau الإفهام (memahamkan). Dengan memberikan pemahaman secara metaforis ini dapat kita fahami makna Nuzul al-Qur’ân adalah, proses pemahaman, pemberitahuan atau penampakan al-Qur’ân kepada Nabi Muhammad Saw. Kadar M. Yusuf, Studi al-Qur’ân, (Jakarta : Amzah, 2010), hal. 16. Yunahar Ilyas, ‘Ulûmul Qur’an, (Yogyakarta : Itqan Publishing, 2014.), hal. 33. Dr. MF. Zenrif, Sintesis Paradigma Studi al-Qur’ân, (Malang : UIN Malang Press, 2008), hal. 02.
[2] Ayat-ayat al-Qur’ân yang diturunkan sedikit demi sedikit adalah mayoritas ayat dalam al-Qur’ân. Contoh dalam surat-surat pendek yang kali pertama turun adalah Surah al-‘Alaq, surat ini kali pertama diturunkan hanya lima ayat, mulai dari ayat pertama sampai ayat kelima, surah al-Dhuha mulai ayat pertama sampai ayat ke lima, sebagaima hadits yang diriwayatkan oleh Imâm ath-Thabari. Surah yang turun sekaligus semisal Surah al-Fatihah, al-Ikhlas, al-Kautsar, al-Lahab, al-Nashr, al-Bayyinah dan lainnya.
[3] Muhammad Fuâd Abdul Bâqi’, Al-Mu’jam al-Mufakhras al-Fadh al-Qur’ân al-Karim, (Qahirah : Dar al-Hadits, 2007), hal. 415 dan 788.
[4] Jalâl al-Dîn Abdurrahmân al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulûm al-Qur’ân, tahqiq : Muhammad Salim Hasyim, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2012), Juz I, hal. 51. Muhammad Ali al-Shabuni, al-Tibyan fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Teheran : Dar Ihsan, 2002), hal. 19.
[5] Nama lengkap Imâm al-Bukhâri adalah Abu ‘Abd Allâh Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ju’fiy al-Bukhâri. Muhammad Isma’il al-Bukhâri, Jami’ al-Shahih al-Bukhâri, tahqiq : Muhammad Zahir bin Nashr al-Nashr, (Beirut : Dar Tauq al-Najah, 1422H), hal. 8
[6] Muhammad Nizar, ‘Ulûmul Qur’an, (Malang : Kurnia Advertising, 2017), hal. 45
[7] Nama lengkapnya ialah Syekh Prof. Dr. Muhammad Alî bin Ali bin Jamil al-Shabuni lahir di Aleppo, Suriah 1 Januari 1930 M, adalah seorang ahli tafsîr (Mufassir) dan ulama’ berasal dari Suriah serta Alumni Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. merupakan Guru Besar ilmu tafsir di Umm al-Qurra’ University, Mekah, Saudi Arabia.
[8] Muhammad Ali al-Shabuni, al-Tibyân fi ‘Ulûm al-Qur’ân…hal. 24. Rosihon Anwar, ‘Ulûm al-Qur’ân, (Bandung : Pustaka Setia, 2013), hal. 60
[9] Shubhi al-Shalih, Mabahit  fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut : Dar al-Ilmi Li al-Malayin, 1977), Cet-10, hal. 132. Rosihon Anwar, ‘Ulûm al-Qur’ân…hal. 60
[10] Mu’ammar Zayn Qadafy, Buku Pintar Sabâbun Nuzûl : Dari Mikro Hingga Makro, (Yogyakarta : In Azna Books, 2015), hal. 02
[11] Mu’ammar Zayn Qadafy, Buku Pintar Sabâbun Nuzûl…hal. 3-5
[12] Syekh Muhammad Abdul Adhim al-Zarqani, Manahi al-Irfan Fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1995), Juz I, hal. 95. Yunahar Ilyas, Kuliah ‘Ulûmul Qur’an, (Yogyakarta : Itqan Publishing, 2014), hal. 123 Rosihon Anwar, ‘Ulûm al-Qur’ân… hal. 66
[13] Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Imâm al-Tirmidzi, ad-Darami dan Abu Ya’la. Imâm al-Baghawi mengomentari dalam kitabnya Syarh al-Taqrib al-Sunnah, bahwa ia mengaggap “Hadits tersebut sanadnya Dha’if (lemah) karena di dalamnya terdapat Abdul A’la bin ‘Amir.” Muhammad Abdul Adhim al-Zarqani, Manahi al-Irfan…hal. 95.
[14] Muhammad Abu Syuhbah, Al-Madkhal Li Dirasah al-Qur’ân al-Karim, (Riyadh : Dar al-Liwa’, 1987), hal. 135
[15] Muhammad Abdul Adhim al-Zarqani, Manahi al-Irfan…, Tim Forum Karya Ilmiah RADEN (Refleksi Anak Muda Pesantren), Al-Qur’ân Kita : Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah, Cet-3, (Kediri : Lirboyo Press, 2013), hal. 125-126
[16] Tim Forum Karya Ilmiah RADEN (Refleksi Anak Muda Pesantren),  Al-Qur’ân Kita : Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah…hal. 126-127. Secara signifikan  Prof. Dr. Rosihon Anwar memberi alternative untuk mengetahui macam-macam Asbâb al-nuzul sebagai berikut : Pertama, dilihat dari sudut pandang redaksi-redaksi yang dipergunakan dalam riwayat Asbâb al-nuzul ada dua macam, a). Sharih (Jelas), b). muhtamilah (Kemungkinan). Kedua, dilihat dari sudut pandang berbilangnya Asbâb al-nuzul untuk satu ayat atau berbilangnya ayat untuk satu Asbâb al-nuzul ada dua macam, a). Berbilangnya Asbâb al-nuzul untuk satu ayat (Ta’addud al-sabab wa nazil al-wahid),  b). Bentuk ayat untuk satu sebab (Ta’addud al-nazil wa al-sabab al-wahid). Rangkuman dalam ‘Ulûm al-Qur’ân…hal. 79.
[17] Abdul Wahid dan Muhammad Zaini, Pengantar ‘Ulûm al-Qur’ân dan ‘Ulûm al-Hadits, (Banda Aceh : Yayasan Pena Banda Aceh, 2016), hal. 82
[18] Imâm Jalâl al-Dîn al-Suyuthi, Al-Itqan Fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut : Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 2012), Juz I, hal. 59 penulis kitab ini (al-Suyuthi) tidak menyebutkan siapa nama ulama’ yang menolak pendapat tentang hal ini-pen.
[19] Hal ini bisa terjadi karena sebab turunnya ayat adalah suatu hal yang qath’I (pasti) dan mengemukakan ayat dari sebab turunnya karena ijtihad dan akal kita.
[20] Imâm Jalâl al-Dîn al-Suyuthi, Al-Itqan Fi ‘Ulûm al-Qur’ân… Juz. hal. 59
[21] Rosihon Anwar, ‘Ulûm al-Qur’ân…hal. 65

Written by : Your Name - Describe about you

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Etiam id libero non erat fermentum varius eget at elit. Suspendisse vel mattis diam. Ut sed dui in lectus hendrerit interdum nec ac neque. Praesent a metus eget augue lacinia accumsan ullamcorper sit amet tellus.

Join Me On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for visiting ! ::

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar