Home » » KOMPILASI DAN KODIFIKASI AL-QUR’ÂN (Ababil Krejengan)

KOMPILASI DAN KODIFIKASI AL-QUR’ÂN (Ababil Krejengan)


KOMPILASI DAN KODIFIKASI AL-QUR’ÂN

1.      KOMPILASI (PENGUMPULAN) DAN KODIFIKASI (PENYUSUNAN) AL-QUR’ÂN
Meski Nabi Muhammad Saw, telah mencurahkan segala upaya yang mungkin dapat dilakukan dalam memelihara keutuhan Al-Qur’ân, beliau tidak me­rangkum semua surah ke dalam satu jilid, sebagaimana ditegaskan oleh Zaid bin Thabit dalam pernyataannya,
قبض النبي صلى الله عليه وسـلم ولم يكن القرآن جمع في شيءِ
“Saat Nabi Saw wafat, al-Qur’ân masih belum terangkum dalam satuan bentuk buku.”
Di sini kita perlu memperhatikan penggunaan kata ‘pengumpulan' bukan ‘penulisan'. Dalam komentarnya, al-Khattabi menyebut, "Catatan ini memberi isyarat akan kelangkaan buku tertentu yang memiliki ciri khas tersendiri. Sebenarnya, Kitab al-Qur’ân telah ditulis seutuhnya sejak zaman Nabi Muhammad. Hanya saja belum disatukan dan surah-surah yang ada juga masih belum tersusun." Penyusunan Al-Qur’ân dalam satu jilid utama (master volume) boleh jadi merupakan satu tantangan karena nasikh mansukh yang muncul kemudian dan perubahan ketentuan hukum maupun kata-kata dalam ayat tertentu memerlukan penyertaan ayat lain secara tepat. Hilangnya satu format halaman akan sangat merendahkan penyertaan ayat-ayat yang baru serta surahnya karena wahyu tidak berhenti untuk beberapa saat sebelum Nabi Muhammad wafat. Dengan wafatnya Nabi Muhammad berarti wahyu ber­akhir untuk selamanya. Tidak akan terdapat ayat lain, perubahan hukum, serta penyusunan ulang. Ini berarti kondisi itu telah mapan dalam waktu yang tepat guna memulai penyatuan Al-Qur’ân ke dalam satu jilid. Tidak ada keraguan yang dirasakan dalam pengambilan keputusan dan kebijaksanaan dan bahkan telah memaksa masyarakat mempercepat pelaksanaan tugas ini. Allâh swt. memberi bimbingan para sahabat dalam memberi pelayanan terhadap al­-Qur'an sebagaimana mestinya memenuhi janji pemeliharaan ' selamanya terhadap Kitab-Nya (QS.15:9).[1]

PENGUMPULAN AL-QUR’ÂN

1.      Pada Masa Nabi Muhammad Saw.
Kerinduan Nabi Saw, terhadap kedatangan wahyu tidak saja diekspresikan dalam bentuk hafalan, tetapi dalam bentuk tulisan. Nabi Saw, memiliki sekretaris pribadi yang khusus bertugas mencatat wahyu. Mereka adalah Sahabat Zaid bin Tsabit al-Anshari (sebagai sekretaris utama)[2], Abu Bakar, Utsman, Ali, Abban bin Sa’id, Khalid bin Sa’id, Khalid bin Walid dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Selain yang disebutkan diatas Prof. Dr. Muhammad Musthafa al-A’zhami (salah seorang cendekiawan di bidang hadits asal India), menyebutkan dalam bukunya “The History Of The Qur’anic Teks : From Revelation to Compilation.” Bahwa para sekretaris Rasûlullâh Saw, lebih kurang terdapat empat puluh lebih.
Ia mengatakan : ”Pada periode Madinah kita memiliki cukup banyak informasi termasuk sejumlah nama, lebih kurang enam puluh lima sahabat yang ditugaskan oleh Nabi Muhammad Saw bertindak sebagai penulis wahyu.Mereka adalah ‘Abban bin Sa'id, Abu Umamah, Abu Ayyub al-Anshari, Abu Bakr ash-Shiddiq, Abu Hudhaifa, Abu Sufyan, Abu Salamah, Abu 'Abbas, Ubayy bin Ka'ab, al-Arqam, Usaid bin al-Hudair, Aus, Buraidah, Bashir, Thabit bin Qais, Ja`far bin Abi Thalib, Jahm bin Sa'd, Suhaim, Hatib, Hudhaifa, Husain, Hanzala, Huwaitib, Khalid bin Sa'id, Khalid bin al-Walid, az-Zubair bin al-`Awwam, Zubair bin Arqam, Zaid bin Thabit, Sa'd bin ar-Rabi`, Sa'd bin `Ubada, Sa'id bin Sa`id, Shurahbil bin Hasna, Talhah, `Amir bin Fuhaira, `Abbas, `Abdullah bin al-Arqam, `Abdullah bin Abi Bakr, `Abdullah bin Rawaha, `Abdullah bin Zaid, `Abdullah bin Sa'd,'Abdullah bin 'Abdullah, 'Abdullah bin 'Amr, 'Uthman bin 'Affan, Uqba, al­'Ala bin 'Uqba, 'All bin Abi Talib, 'Umar bin al-Khattab, 'Amr bin al-'As, Muhammad bin Maslama, Mu'adh bin Jabal, Mu'awiya, Ma'n bin 'Adi, Mu'aqib bin Mughira, Mundhir, Muhajir, dan Yazid bin Abi Sufyan”.[3]


NABI MUHAMMAD SAW MENDIKTEKAN AL-QUR’ÂN dan TRADISI PENULISAN
DI KALANGAN SAHABAT

Saat wahyu turun, Nabi Muhammad secara rutin memanggil para penulis yang ditugaskan agar mencatat ayat itu. Zaid bin Thabit menceritakan sebagai ganti atau mewakili peranan dalam Nabi Muhammad, la sering kali dipanggil diberi tugas penulisan saat wahyu turun. Sewaktu ayat al-jihad turun, Nabi Muhammad memanggil Zaid bin Thabit membawa tinta dan alat tulis dan kemudian mendiktekannya; 'Amr bin Um-Maktum al-A'ma duduk menanyakan kepada Nabi Muhammad, "Bagaimana tentang saya? Karena saya sebagai orang yang buta." Dan kemudian turun ayat, "ghairuli al-darar" (bagi orang­orang yang bukan catat). QS.4:95. Tampaknya tak ada bukti pengecekan ulang setelah mendiktekan. Saat tugas penulisan selesai, Zaid bin Tsabit membaca ulang di depan Nabi Muhammad agar yakin tak ada sisipan kata lain yang masuk ke dalam teks.Praktek yang biasa berlaku di kalangan para sahabat tentang penulisan AI­Qur'an, menyebabkan Nabi Muhammad melarang orang-orang menulis sesuatu darinya kecuali al-Qur’ân,"dan siapa yang telah menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’ân, maka la harus menghapusnya."HR. Muslim. No.3004. Beliau ingin agar Al-Qur’ân dan hadith tidak ditulis pada halaman kertas yang sama agar tidak terjadi campur aduk serta kekeliruan. Sebenarnya bagi mereka yang tak dapat menulis selalu hadir juga di masjid memegang kertas kulit dan minta orang lain secara suka rela mau menuliskan ayat Al-Qur’ân. Berdasarkan kebiasaan Nabi Muhammad memanggil juru tulis ayat-ayat yang baru turun, kita dapat menarik anggapan bahwa pada masa kehidupan beliau seluruh Al-Qur’ân sudah tersedia dalam bentuk tulisan.[4]


PADA MASA KHULAFA’ AL-RASHIDIN
1.      Pada Masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq.
Imam al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits tentang pengumpulan al-Qur’ân ini sebagai berikut ;
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isa'il dari Ibrahim bin Sa'd Telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab dari Ubaid bin As Sabbaq bahwa Zaid bin Tsabit radliAllâhu 'anhu, ia berkata; 
Abu Bakar mengirim para korban perang Yamamah kepadaku, dan ternyata Umar bin Al Khaththab ada di sisinya. Abu Bakar radliAllâhu 'anhu berkata, "Sesungguhnya Umar mendatangiku dan berkata, 'Mayoritas korban perang Yamamah adalah para penghafal Al-Qur’ân. Dengan gugurnya mayoritas penghafal Al-Qur’ân, maka aku khawatir sebagian besar Al-Qur’ân juga akan hilang. Maka aku berpendapat, sebaiknya Anda segera memerintahkan guna melakukan dokumentasi alquran.' Maka aku pun bertanya kepada Umar, 'Bagaimana kamu akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasûlullâh shallAllâhu 'alaihi wasallam? ' Umar menjawab, 'Perkara ini, demi Allâh adalah ide yang baik.' Umar selalu membujukku hingga Allâh memberikan kelapangan dadaku, dan akhirnya aku sependapat dengan Umar." Zaid berkata; Abu Bakar berkata, "Sesungguhnya kamu adalah seorang pemuda yang cerdas, kami sama sekali tidak curiga sedikit pun padamu. Dan sungguh, kamulah yang telah menulis wahyu untuk Rasûlullâh shallAllâhu 'alaihi wasallam. Karena itu, telusurilah Al-Qur’ân dan kumpulkanlah." Zaid berkata, "Demi Allâh, sekiranya mereka memerintahkanku untuk memindahkan gunung, niscaya hal itu tidaklah lebih berat daripada apa yang mereka perintahkan padaku, yakni dokumentasi alquran." Zaid bertanya, "Bagaimana kalian melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasûlullâh shallAllâhu 'alaihi wasallam?" Ia menjawab, "Demi Allâh, itu adalah kebaikan." Abu Bakar terus membujukku, hinnga Allâh pun memberikan kelapangan dadaku, sebagaimana Abu Bakar dan Umar radliAllâhu 'anhuma. Maka aku pun mulai menelusuri Al-Qur’ân, mengumpulkannya dari tulang-tulang, kulit-kulit dan dari hafalan para Qari`. Dan akhirnya aku pun mendapatkan bagian akhir dari surat At Taubah bersama Abu Khuzaimah Al Anshari, yang aku tidak mendapatkannya pada seorang pun selainnya. Yakni ayat: 'Sungguh, telah datang pada kalian seorang Rasul dari kaum kalian sendiri, yang sangat berat olehnya kesulitan yang menimpa kalian..'" hingga akhir surat Al Bara`ah. Lembaran-lembaran Al-Qur’ân itu pun tetap tersimpan pada Abu Bakar hingga Allâh mewafatkannya. Kemudian beralih kepada Umar semasa hidupnya, lalu berpindah lagi ke tangan Hafshah binti Umar radliAllâhu 'anhu.
HR. Muslim. No. 4603

Peristiwa yang tragis itu mendorong umar untuk menyarankan kepada khalifah agar segera terhimpun ayat-ayat al-Qur’ân dalam mushaf/suhuf, karena di khawatirkan  kehilangan sebagian al-Qur’ân dengan wafatnya sebagian para penghafalnya (lebih kurang tujuh puluh haffadz yang gugur dalam perang yamamah).[5] Ide Sahabat Umar dapat diterima oleh Abu Bakar setelah diadakannya diskusi dan pertimbangan-pertimbangannya secara seksama. Kemudian khalifah memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit agar segera menghimpun ayat-ayat al-Qur’ân dalam satu shuhuf.
Zaid bin Tsabit sangat hati-hati dalam menjalankan tugas ini, sekalipun ia penulis wahyu utama dan dan hafal seluruh al-Qur’ân – sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Abdus Shabur Sahin dalam kitabnya Tarikh al-Qur’ân – ia dalam menjalankan tugasnya berpegang dengan dua hal, yaitu ;
a)      Ayat-ayat al-Qur’ân yag ditulis dihaapan Nabi Saw dan yang disimpan di rumah baginda.
b)      Ayat-ayat al-Qur’ân yang dihafal oleh para sahabat yang hafidzul qur’an.
Zaid tidak mau menerima tulisan ayat-ayat al-Qur’ân, kecuali kalau disaksikan dengan dua orang saksi yang adil, bahwa ayat-ayat itu benar-benar ditulis dihadapan Nabi Saw, atau perintah atau petunjuknya.

2.      Pada Masa Khalifah Ustman bin ‘Affan.
Pada masa pemerintahan Ustman bin Affan, terjadilah perbedaan bacaan al-Qur’ân di kalangan umat Islam dan jika hal ini dibiarkan, bias mengganggu persatuan dan kesatuan al-Qur’ân. Karena hal itu sahabat Abu Hudhaifah al-Yamani menyarankan kepada Khalifah agar segera mengusahakan keseragaman bacaan al-Qur’ân. Jika masih terjadi perbedaan bacaan al-Qur’ân, diusahakan masih dalam batas-batas yang di ajarkan oleh Rasûlullâh Saw (mengingat bacaan al-Qur’ân yang diturunkan dengan menggunakan tujuh dialektik Arab).[6]
Khalifah Ustman bin Affan dapat menerima ide Abu Hudhaifah, kemudian membentuklah panitia yang terdiri dari empat orang yakni ; Zaid bin Tsabit, Sa’id bin al-‘Ash, Abdullah bin al-Zubair dan ‘Abdurrahmân  bin Harits bin Hisyam, yang hal ini diketuai oleh Zain bin Tsabit dan bertugas menyalin shuhuf al-Qur’ân yang disimpan oleh Sayyidah Hafshah, sebab shuhuf  Sayyidah Hafshah inilah yang dipandang sebagai naskah al-Qur’ân Standart.[7]
Panitia Zaid bin Tsabit diperintahkan untuk menyalin shuhuf Hafshah binti Umar bin al-Khaththab ke dalam mushaf dalam jumlah beberapa buah (exampler) untuk di kirim ke beberapa daerah Islam di sertai instruksi bahwa semua shuhuf dan mushaf al-Qur’ân yang berbeda dengan mushaf Ustman yang terkirim itu harus di musnahkan (dibakar). Setelah panitia Zaid berhasil melaksanakan tugasnya, shuhuf Sayyidah Hafshah yang dipinjamnya itu dikembalikan kepadanya.[8]  Marwan bin al-Hakam (seorang khalifah dari Dinasti Umayyah Wafat. 65 H) pernah meminta kepada Hafshah agar shuhufnya itu dibakar, tetapi ia menolak. Baru setelah Sayydah Hafsah wafat, Shuhufnya di ambil oleh Marwan dan kemudian dibakarnya. Tindakan Marwan ini sebagian berpendapat terpaksa dilakukan, demi untuk mengamankan keseragaman mushaf al-Qur’ân yang telah di usahakan oleh Khalifah Utsman bin Affan dengan menyalin seluruh isi shuhuf Hafsah ke dalam Shuhuf Utsman dan untuk menghindarkan keragu-raguan umat Islam di masa yang akan dating terhadap mushaf al-Qur’ân, jika masih terdapat dua macam naskah al-Qur’ân (Suhuf Hafshah dan Mushaf Utsman). Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, panitia Zaid bin Tsabit dapat diselesaikan pada Tahun 25 H.[9] Menurut beberapa riwayat ada sembilan naskah al-Qur’ân yang dikirim ke berbagai daerah, antara lain ; Kufah, Bashrah, Suriyah, Madinah, Mekkah, Mesir, Bahrain, Yaman dan al-Jazair.[10]


CARA ZAID BIN TSABIT MENGGUNAKAN MATERI TULISAN AL-QUR’ÂN
Cara yang biasa dipakai dalam menyatukan naskah agar seorang perumus kalimat (editor) mengadakan perbandingan dengan naskah lain dari hasil kerja yang sama kendati, biasanya tidak semua naskah memiliki nilai yang setaraf.
Dalam memberi penjelasan terhadap tingkatan naskah yang paling dapat di pertanggungjawabkan dengan yang tak memiliki harga nilai, Bergstraser mem­buat beberapa ketentuan penting sebagai berikut ;
1.      Naskah yang lebih awal biasanya lebih dapat terjamin dan tepercaya dari naskah yang muncul kemudian.
2.      Naskah yang sudah diubah dan dibetulkan oleh penulis melalui proses perbandingan dengan naskah induk, lebih tinggi tingkatannya dari ma­nuskrip-manuskrip yang tidak ada perubahan.
3.      Jika naskah asli masih ada, naskah lain yang ditulis dari naskah itu akan hilang nilainya.
Blachere dan Sauvaget kembali menegaskan tentang poin ketiga: Jika naskah asli masih terdapat di tangan pengarang, atau salah satu naskah yang telah mengalami perubahan masih ada, maka nilai naskah-naskah lain akan dinafikan.  Demikian juga, tidak adanya naskah asli dari seorang pengarang, duplikat lain, dengan adanya naskah induk, hendaknya dibuang dan tidak di­pertimbangkan.[11]

JATI DIRI ZAID BIN TSABIT

          Sejak usianya di awal dua puluh-tahunan, di masa itu, Zaid bin Tsabit diberi ke­istimewaan tinggal berjiran dengan Nabi Muhammad dan bertindak sebagai salah seorang penulis wahyu yang amat cemerlang. Dia salah satu di antara para huffadz karena kehebatan jati diri itulah yang mengantarnya sebagai pilihan mumtaz untuk melakukan tugas tersebut.
       Abu Bakar as-Siddiq mencatat kualifikasi dirinya sebagai berikut:
1.      Masa muda Zaid menunjukkan vitalitas dan kekuatan energinya.
2.      Akhlak yang tak pernah tercemar menyebabkan Abu Bakar memberi pengakuan secara khusus dengan kata-kata, “Kami tak pernah memiliki prasangka negatif pada anda.”
3.      Kecerdasannya menunjukkan pentingnya kompetensi dan kesadaran.
4.      Pengalamannya di masa lampau sebagai penulis wahyu.
5.      Zaid adaah salah seorang yang bernasib mujur di antara beberapa orang sahabat yang sempat mendengar bacaan al-Qur’ân, Malaikat Jibril a.s bersama Nabi Muhammad Saw di bulan Ramadhan.


BAHAN-BAHAN YANG DIGUNAKAN DALAM MENULIS AL-QUR’ÂN
Ada sejumlah informasi yang cukup ekstensif tentang bahan-bahan yang digunakan untuk menyalin al-Qur’ân. Informasi ini terutama didasarkan pada laporan-laporan mengenai surat-surat yang dikirim Nabi Saw ke berbagai penguasa dunia ketika itu dan laporan mengenai pengumpulan al-Qur’ân yang dilakukan Zaid bin Tsabit. Dalam laporan terakhir ini disebutkan sejumlah bahan yang ketika itu digunakan untuk menyalin wahyu-wahyu yang diturunkan oleh Allâh Swt. kepada Nabi Muhammad Saw, yaitu:
1.      Riqâ’ atau lembaran lontar atau permanen, sebagaimana dijelaskan imam al-Suyûthi dalam kitab al-Itqân fî ulûm al-Qurân nya.
2.      Likhâf  atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari kepingan batu kapur yang terbelah secara horisontal lantaran panas.
3.      Asib atau pelepah kurma, terbuat dari bagian ujung dahan pohon kurma yang tipis – salah satu surat Nabi Saw kepada Udzra ditulis di atas bahan ini.
4.      Aktâf atau tukang belikat, biasanya juga dari tulang rusuk unta.
5.      Adîm atau lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang asli (bukan permanen) dan merupana bahan utama yang digunakan untuk menulis ketika itu.[12]






[1] Muhammad Musthafa al-A’zhami, Sejarah Teks al-Qur’ân dari Wahyu sampai Kompilasi : Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, terj. Sohiron Solihin (ed), Cet-1, (Jakarta : Gema Insani, 2014), hal.76-77
[2] Murtadha Muthahhari mengutip dalam kitab al-Jam’u al-Turmudzi tentang sosok Sahabat Zaid bin Tsabit bahwa “Zaid bin Tsabit menceritakan bahwasannya Rasûlullâh Saw, memerintahkan saya untuk belajar Bahasa Yahudi, dan beliau (Rasûlullâh) menegaskan, “Demi Allah, saya tidak dapat mempercayakan surat-surat saya kepada orang Yahudi”. Kemudian saya mempelajarinya selama kurang lebih setengah bulan, dan setelah itu, setiap kali Rasululah Saw hendak menulis surat kepada orang Yahudi, maka saya menulisnya dan setiap kali beliau mendapat surat dari orang Yahudi saya yang membacakan untuk beliau.” Murtadha Muthahhari, Kumpulan Artikel Pilihan, terj. M.J. Bafaqih, Cet-1, (Jakarta : Lentera Basritama, 2003), hal. 32.
[3] Muhammad Musthafa al-A’zhami, Sejarah Teks al-Qur’ân...hal. 66-67.
[4] Muhammad Musthafa al-A’zhami, Sejarah Teks al-Qur’ân...hal. 67. Muhyiddin Abu Zakaria al-Nawawi, al-Minhaj Fi Syarhi Shahih Muslim bin Hajjaj/Syarh al-Nawawi ‘Ala al-Muslim, (Beirut : Bait al-Afkar al-Dauliyah, tt), hal.1722
[5] Dalam laporan-laporan yang sampai kepada kita, disebutkan bahwa penghafal al-Qur’ân yang gugur saat itu 70 orang, bahkan dalam riwayat lain disebutkan sebanyak 500 orang. Tetapi, ketika nama-nama para penghafal al-Qur’ân, ditelusuri dalam daftar orang-orang yang tewas – seluruhnya berjumlah sekitar 1200 orang – ternyata hanya ditemukan sejumlah kecil nama yang mungkin menghafal banyak bagian al-Qur’ân. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’ân…hal. 163.
[6] Liliek Chana Aw & Syaiful Hidayat, ‘Ulûm al-Qur’ân…hal. 24
[7] Ahmad Zuhdi (ed), Bahan Ajar Studi al-Qur’ân, Cet-7, (Surabaya : UIN. Sunan Ampel, 2017), hal. 46. dan Liliek Chana Aw & Syaiful Hidayat, ‘Ulûm al-Qur’ân…hal. 25
Kata Shuhuf  dalam al-Qur’ân terulang sebanyak 8 kali yaitu ; QS. 20:133, 53:36, 80:13, 81:10, 87:18 dan 19, 74:52, 98:02. Kata ini muncul beberapa dalam al-Qur’ân dalam kaitannya dengan wahyu pada umumnya, atau dengan wahyu yang disampaikan kepada Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Musa a.s. Bentuk tunggal kata ini Shahifah  kemungkinan bermakna selembar bahan untuk menulis (tanpa menetapkan jenis bahannya), dan kata ini umumnya di artikan sebagai “Lembaran-lembaran terpisah yang tidak terjilid.” Sementara tinta dan pena sebagai alat tulis, juga dirujuk dalam al-Qur’ân QS.96:4, 31:27, 18:109. Muhammad Fu’ad Abdul Baqi’, al-Mu’jam…hal. 495.
[8] Berdasarkan pada Riwayat Pertama Ustman memutuskan berupaya dengan sungguh-sungguh untuk melacak Shuhuf dari Hafshah, mempercepat menyusun penulisan, dan memperbanyak naskah. AI-Bara' meriwayatkan, Kemudian Utsman mengirim surat kepada Hafshah yang menyatakan ; "Kirimkanlah Shuhuf kepada kami agar kami dapat membuat naskah yang sempurna dan kemudian Suhuf akan kami kembalikan kepada anda." Hafshah lalu mengirimkannya kepada Utsman, yang memerintahkan Zaid bin Tsabit, `Abdullah bin az-Zubair, Sa'id bin al-'As, dan '‘Abdurrahmân  bin al-Harith bin Hisham agar memperbanyak salinan naskah. Beliau memberitahukan kepada tiga orang Quraisy, "Kalau kalian tidak setuju dengan Zaid bin Thabit perihal apa saja mengenai al-Qur’ân, tulislah dalam dialek Quraisy sebagaimana al-Qur’ân telah diturunkan dalam logat mereka." Kemudian mereka berbuat demikian, dan ketika mereka selesai membuat beberapa salinan naskah Utsman mengembalikan Shuhuf itu kepada Hafshah. Riwayat Kedua adalah pendapat yang agak rumit dan kompleks. Ibn Sirin, (W. 110 H.) meriwayatkan, Ketika Utsman memutuskan untuk menyatukan al-Qur’ân, dia mengumpulkan panitia yang terdiri dari dua belas orang dari kedua suku Quraisy dan Anshar. Di antara mereka adalah Ubayy bin Ka'b dan Zaid bin Thabit. Identitas dua betas orang ini bisa dilacak melalui beberapa sumber. aI-­Mu'arrij as-Sadusi menyatakan, "Mushaf yang baru disiapkan diperlihatkan pada (1) Sa'id bin al-'As bin Sa'id bin al-'As untuk dibaca ulang;" dia menambahkan (2) Nafi' bin Zubair bin `Amr bin Naufal. Yang lain termasuk (3) Zaid bin Tsabit, (4) Ubay bin Ka'ab, (5) 'Abdullah bin az-Zubair, (6) 'Abrur-Rahman bin Hisyam, dan (7) Katsir bin Aflah. Ibn Hajar menyebutkan beberapa nama lain: (8) Anas bin Malik, (9) 'Abdullah bin 'Abbas, dan (10) Malik bin Abi 'Amir. Dan al-Baqillani menyebutkan selebihnya (11) 'Abdullah bin `Umar, dan (12) `Abdullah bin 'Amr bin al-'As. M. Musthafa al-A’zami, Sejarah Teks al-Qur’ân…hal. 90-91.
[9] Liliek Chana Aw & Syaiful Hidayat, ‘Ulûm al-Qur’ân…hal. 25-26.
[10] M. Musthafa al-A’zami, Sejarah Teks al-Qur’ân…hal. 95
[11] M. Musthafa al-A’zami, Sejarah Teks al-Qur’ân…hal. 80
[12] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’ân…hal. 168

Written by : Your Name - Describe about you

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Etiam id libero non erat fermentum varius eget at elit. Suspendisse vel mattis diam. Ut sed dui in lectus hendrerit interdum nec ac neque. Praesent a metus eget augue lacinia accumsan ullamcorper sit amet tellus.

Join Me On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for visiting ! ::

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar